Wujud Adaptasi Ekologi Bengawan Solo di Bedanten

Tersebut dalam Prasasti Canggu (1358 M), bahwa di Kabupaten Gresik terdapat desa-desa di tepian Bengawan Solo yang mendapat penghargaan dari Raja Hayam Wuruk sebagai Naditira Pradeca. Yakni, desa di tepian sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS), bahasa klasiknya disebut Naditira. Desa-desa ini berjasa atas layanan penyeberangan Bengawan.

Setidaknya ada 7 Naditira Pradeca. Yakni, Madanten (Bedanten), Wringin Wok, Brajapura (Mojopuro), Jerebeng (Jrebeng), Pabulangan (Bulangan), dan Luwayu (Lowayu).

Dari identifikasi, pernah adanya kegiatan penambangan (penyeberangan) yang pada akhirnya diapresiasi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Hal ini kemudian jadi penanda adanya peradaban manusia di DAS.

Warga setempat, sebagaimana nama desanya tersebut pada prasasti, sudah berpikir menyediakan layanan penyeberangan untuk memudahkan urusan antarsesama. Bisa jadi itu adalah urusan ekonomi, sosial, dan keagamaan kala itu.

Adanya peradaban manusia juga bisa dilihat dari temuan berbagai peninggalan. Ada makam kuno, ada bekas struktur bangunan kuno, mata uang kuno, fragmentasi gerabah, dan batu bata kuno. Juga sejumlah pusaka, seperti keris dan senjata tradisional.

 

Sebuah makam kuno di Bedanteng. foto: begandring

Adalah di Desa Bedanten, Kecamatan Bungah, sebuah Naditira Pradeca paling hilir. Ketika itu, muara Bengawan Solo tidak berada di Ujung Pangkah seperti sekarang. Tetapi masih bergaris lurus ke timur dan bermuara di dekat Pulau Menarie (Mengare). Oleh Belanda, alur Bengawan dibelokkan ke utara seperti yang kita lihat sekarang.

Simak, sebuah resum hasil penelitian: “Nadhitira Pradesa Peradaban Maritim Sungai Masa Majapahit di Kabupaten Lamongan” (2017), diketahui bahwa aliran-aliran sungai itu tidaklah senantiasa tetap dalam lintasmasa. Artinya, dimungkinkan di tempat-tempat tertentu telah terjadi perubahan lintasan air sungai yang kini hanya menyisakan ‘kali mati’ atau bahkan palung sungai yang telah mengering dan berubah peruntukkan menjadi areal pertanian serta fungsi-fungsi lain.

Baca Juga  Ini Dia Jejak Sejarah KBS yang Tersembunyi

Di bekas penutupan aliran Bengawan yang awalnya mengarah ke Pulau Mengare, misalnya, kini telah menjelma menjadi area pertambakan. Berdasarkan pengamatan melalui peta google.earth dapat diketahui adanya gambaran mengenai ekologi sungai, rawa, permukiman, areal agraris dan perikanan yang menunjukkan adanya alih fungsi. Apalagi jika bisa mendapatkan peta-peta lama sebagai perbandingan, dapat diketahui kapan perubahan fungsi itu terjadi.

Struktur bastion di situs Benteng Lodewijk. foto: begandring

Perubahan Ekologi

Perubahan alur sungai, baik yang terjadi secara alami maupun buatan manusia, adalah perubahan ekologi yang selanjutnya disesuaikan dan manfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada masa berikutnya.

Inilah adaptif-ekologis. Konon pemanfaatan semacam ini sudah terjadi lama sekali. Salah satu pembuktinya adalah informasi tekstual yang didapati pada Prasasti Canggu yang berangkat tahun 1358 M. Dalam prasasti ini disebutkan puluhan tempat di sepanjang sungai terdapat tempat penyeberangan sungai (panambangan).

Suatu hal menarik dan penting untuk dicermati, setidaknya terdapat  43 titik lokasi desa panambangan purba di alur Bengawan Solo dan anak anak sungainya.

Di sekitar panambangan-panambangan purba tersebut dan tempat lain yang lebih jauh dari aliran sungai, namun mempunyai akses jalan darat-– baik yang kini masih ada atau telah menghilang-– didapati jejak-jejak budaya faktual masa lalu. Yang dapat dijadikan tambahan bukti penguat akan tumbuh dan berkembangnya peradadaban maritim-sungai Majapahit.

Desa-desa yang dilengkapi dengan tambangan dan pasar desa pada tepi sungai masih diperoleh jejaknya di sejumlah tempat. Begitu juga dengan desa-desa tambangan yang dahulunya terdapat pusat peribadatan dan pendidikan (semacam candi juga mandala).

 

Rumah Loji yang kini jadi Kantor Kecamatan Bungah. foto: begandring

Bedanten Pusat Peradaban

Bedanten, Naditira Pradeca paling hilir di Bengawan Solo, sekaligus sebagai gerbang Majapahit. Melalui muara kali ini Majapahit memakai dipakai jaringan perhubungan maritim untuk menjangkau pedalaman Jawa hingga ke wilayah Mataram.

Baca Juga  Ketika Dahlan Iskan Kepincut Surat Cinta Bung Karno

Jalur maritim Majapahit ini dapat dilacak dari urutan penulisan Naditira Pradesa. Yakni, dari Pelabuhan Canggu di Kali Brantas hingga ke hilir melalui Surabaya, lalu masuk melalui hilir Bengawan Solo dengan gerbang Bedanten hingga ke hulu Bengawan di Wulayu (Solo).

Di Bedanten telah diketemukan beragam fragmentasi benda-benda kuno berupa piring, tempayan, mangkuk, ceret, uang China, batu bata besar, peripih, serpihan atap gerbang serta makan makam kuno. Makam-makam kuno yang letaknya tersebar juga sebagai bukti nyata adanya manusia yang bertempat tinggal di Bedanten.

Ketika zaman berubah, Bedanten semakin menjadi jujugan orang-orang pendatang. Salah satunya dari Eropa. Kondisi ekologi sungai diadaptasi. Alur sungai dibelokkan ke utara sehingga bermuara di Ujung Pangkah (utara), tidak lagi di Bungah (timur). Bekas sungainya menjadi area pertambakan.

Di kawasan Bungah yang tidak jauh dari Desa Bedanten, berdiri rumah rumah kolonial seperti rumah loji bergaya indies yang sekarang menjadi kantor Kecamatan Bungah.

Juga di Mengare dimana terdapat beberapa rumah kolonial. Termasuk dibangunnya sebuah benteng pertahanan yang tidak jauh dari Mengare. Yaitu, Benteng Lodewick, didirikan oleh Daendels pada 1811.

Sebagai pintu gerbang masuk ke pedalaman Jawa, sungai menjadi urat nadi perekonomian, perhubungan dan pembangunan. Untuk itu, di anak sungainya dibuat pintu air yang terdapat sebuah pabean untuk pajak keluar-masuk barang.

Hingga kini, peninggalan pintu air (sulis) dan rumah jaganya masih bertengger di sana. Semuanya menjadi onggokan masa lalu yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Namun tidak berarti tidak bisa dimanfaatkan. Ini semua adalah aset sejarah yang bisa dimanfaatkan sebagai pendukung pariwisata desa. Melalui wadah desa wisata kiranya potensi sejarah masa lalu Bungah dapat dikelola, dikembangkan, dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Baca Juga  Trio Pendiri Masjid Kemayoran Surabaya

Apalagi Desa Bedanten sudah membuat Pusat Kebudayaan Bedanten yang di kompleks Balai Desa Bedanten. Selama ini, lokasi pusat kebudayaan  Bedanten telah dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan Sedekah Bumi, istighosah, dan lain sebagainya. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *