Dalam rangka perayaan Hari Jadi Kota Surabaya di tahun 2023, Begandring Soerabaia memberi kado berupa buku baru “Meneropong Sejerah Surabaya dari Sungai Kalimas”. Buku baru ini secara resmi diluncurkan oleh Pimpinan DPRD Kota Surabaya, Adi Sutarwijono, yang didampingi oleh Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati.
Acara peluncuran buku, yang disiarkan langsung melalui program televisi “Rujak Surabaya” (Ruang Jagongan Rakyat Surabaya) ini dihadiri oleh penulis sekaligus sejarawan Belanda, Emile Leuhuis, akademisi Universitas Airlangga seperti Prof. Suparto Wijoyo, Kukuh Yudha Karnanta dan Prof Purnawan Basundoro (zoom); dosen sejarah Unesa, Rojil Bayu Aji; Ketua YPTA, J. Subekti; Wakil Ketua DPRD Surabaya, AH Thony dan komunitas Begandring Soerabaia pada Selasa, 30 Mei 2023.
Dalam acara ini, penulis buku Nanang Purwono mengatakan bahwa ada dua variable dalam tulisan itu. Yaitu tempat dan bangunan bersejarah dan Kalimas. Kalimas sendiri menjadi pijakan dalam melihat tempat tempat bersejarah itu.
Setidaknya ada 73 tempat dan bangunan bersejarah yang dapat diamati dari sepanjang aliran Kalimas mulai dari ujung Selatan di kawasan Ngagel hingga ke ujung Utara di kawasan Ujung.
Sebenarnya jumlah tempat tempat bersejarah di Surabaya ada ratusan. Cuma Nanang memfokuskan pada jejak jejak sejarah yang ada di sepanjang aliran Kalimas. Dari penelusuran yang dimulai sejak 2018 itu, ada 73 jejak yang berhasil didokumentasikan dan dibukukan dengan judul “Meneropong Sejarah Surabaya Dari Sungai Kalimas”.
Kalimas sendiri adalah obyek sejarah yang paling tua. Kemudian di sekitar dan di sepanjang Kalimas itulah peradaban manusia mulai bercokol. Catatan peradaban paling tua dengan bukti otentik adalah prasasti Canggu (1358 M).
Prasasti yang dibuat oleh Raja Hayam Wuruk (Majapahit) mencatant keberadaan desa desa di tepian sungai (naditira pradeca). Ada sungai Brantas dan Bengawan Solo beserta anak anak sungainya. Kalimas (Kali Surabaya) adalah anak kali Brantas. Di wilayah administratif kota Surabaya sekarang, terdapat tiga naditira pradeca. Dari selatan ada Pagesangan (Gsang), lalu Bungkul (Bkul) dan paling hilir adalah Surabaya (Curabhaya)
Belum lama ini, komunitas sejarah Begandring Soerabaia menemukan kembali keberadaan Prasasti Canggu yang selama ini tidak diketahui keberadaannya. Keberadaannya ada di Museum Nasional, yang sejak awal memang berada di sana.
Menurut penulis buku, Nanang Purwono, kala itu di tahun 1358 M, Surabaya masih berupa desa kecil di tepian sungai. Desa Surabaya itu menempel di tepian sungai. Kini Surabaya telah menjadi kota besar dan keberadaannya bagai menelan Kalimas. Kalimas dalam kungkungan Surabaya.
Surabaya tumbuh dan berkembang tidak jauh dari Kalimas. Sekarang Kalimas ada di dalam Surabaya. Menurut Profesor Purnawan Basundoro (Universitas Airlangga) bahwa sungai adalah pembentuk peradaban. Hampir semua peradaban besar dunia lahir di tepi sungai. Termasuk Surabaya sendiri.
“Peradaban Mesir lahir di lembah Sungai Nil, Peradaban Mesopotamia lahir di lembah Sungai Eufrat dan Tigris, Peradaban Cina lahir di lembah Sungai Hoang Ho atau Sungai Kuning. Kerajaan-kerajaan besar di Indonesia juga lahir di tepi sungai, seperti Majapahit, Sriwijaya, Tarumanegara, dan lain-lain.” jelas Basundoro.
Hal ini menunjukkan bahwa sungai menjadi faktor penting lahirnya sebuah peradaban.
Basundoro menambahkan bahwa kajian yang dilakukan oleh Karl A. Wittfogel, yang terangkum dalam tulisannya berjudul Oriental Despotism, menguatkan hal tersebut.
“Ia (Karl A. Wittfogel) mengajukan teori mengenai hydraulic civilization, yang mengacu terbentuknya kekuasaan-kekuasaan feodal di negeri Timur”, tambah Basundoro.
Pentingnya Kalimas.
Buku “Meneropong Sejarah Surabaya Dari Sungai Kalimas” yang ditulis Nanang ini sesungguhnya memaknai pentingnya sungai Kalimas. Melalui buku ini, Nanang menyerukan upaya pelestarian dan pemanfaatan sungai sebagai bagian dari kehidupan Surabaya.
Ketika dulu Kalimas banyak berperan dalam perkembangan dan kehidupan di Surabaya sehingga menjadikan Surabaya menjadi kota besar, maka sekarang Kalimas harus lebih berperan dalam mensejahterakan rakyat Surabaya. Maka rakyat Surabaya harus bertanggung jawab untuk menjaga Kalimas.
Kalimas tidak boleh sekedar menjadi jalur pembuangan air dari pedalaman Jawa ke laut. Tetapi Kalimas harus bisa memberi manfaat yang lebih baik untuk tujuan tujuan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian, kebudayaan, pariwisata dan bahkan perekonomian.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Kota Surabaya, Wiwiek Widayati, bahwa pemerintah kota sudah sedang menata Kalimas. Ia mencontohkan dengan dibuatnya dan diresmikannya Taman Asli Arek Suroboyo (Asreboyo) di kawasan Ngagel, Kecamatan Wonokromo, Minggu (21/5/2023). Di taman ini pengunjung bisa melakukan sejumlah aktivitas, seperti berolahraga, bermain bersama anak, menjajal skatepark, naik perahu air, dan jajan kudapan.
Sementara itu Emile Leushuiz, tamu dari. Belanda yang datang untuk menghadiri peluncuran buku “Meneropong Sejarah Surabaya Dari Kalimas” mengatakan Kalimas sangat berpotensi menjadi obyek Pariwisata.
“Saya yakin Kalimas bisa menjad obyek yang unik jika dikelola dengan lebih baik dan lebih serius”, jelas Emile yang sudah sering datang ke Surabaya dalam kaitannya dengan pekerjaannya sebagai pelaku bisnis wisata dan penulis.
Emile pernah menerbitkan buku panduan wisata Jelajah Sejarah Kota-Kota Pusaka di Indonesia (Gids Historische Stadswandeling en Indonesie), khususnya kota Medan, Jakarta, Cirebon, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surakarta, Surabaya dan Malang. Sedangkan dia sendiri sudah bolak balik kekunjung ke Surabaya 18 kali.
Dari potensi Kalimas, terutama jika Kalimas dipandang sebagai gardu pandang untuk melihat sejarah kota Surabaya, khususnya yang ada di sekitar Kalimas sebagaimana ditulis dalam buku “Meneropong Sejarah Surabaya”, maka pendokumentasian sejarah kota Surabaya lainnya yang tersebar di penjuru kota juga perlu dilakukan.
“Saya harap penulisan sejarah kota seperti ini perlu dilakukan karena ini akan memperkaya khasanah kepustakaan dan kesejarahan Surabaya. Dalam pendokumentasian itu, penting kiranya mengungkap nilai nilai luhur yang menyertai sejarah pada fisik obyek dan bengunan”, tegas Adi Sutarwijono, Ketua DPRD Kota Surabaya dalam sambutan peluncuran buku “Meneropong Sejarah Surabaya Dari Sungai Kalimas”.
Klasterisasi
Meski berpijak pada Kalimas, namun buku ini lebih mengurai jejak jejak sejarah yang ada si sepanjang sungai. Artinya dengan berorientasi di sepanjang sungai Kalimas, pembaca diajak untuk memperhatikan jejak jejak sejarah yang teruntai di sepanjang kiri kanan sungai. Dengan demikian dalam pengembangan pariwisata kota Surabaya ada integrasi pengembangan kawasan air (Kalimas) dan pengembangan kawasan darat yang terdapat jejak jejak sejarah Surabaya.
Sejarah Surabaya dalam buku ini disajikan secara berurutan yang bergerak mengikuti alur sungai dari Selatan (Ngagel) ke Utara (Ujung).
Untuk lebih detailnya, sebagaimana disajikan dalam buku ini, maka penulisan dan uraian tempat dan obyek bersejarah dikelompokkan dalam klaster klaster.
Diawali dari selatan ada Klaster A, Dam Ngagel; Klaster B, Jembatan BAT; Klaster C, Jembatan Gubeng; Klaster D, Jembatan Simpang; Klaster E, Jembatan Peneleh; Klaster F, Pasar Besar; Klaster G, Jabatan Merah dan Klaster H, Jabatan Petekan.
Di setiap klaster inilah dituliskan tempat dan obyek bersejarah. Klaster A (Dam Ngagel) dipaparkan Historia obyek obyek Dam-Sluis Ngagel, Pintu Air Jagir, Gemeente Waterleiding, Jembatan Wonokromo, Kebon Binatang dan Jembatan Bungkuk.
Klaster B (Jembatan BAT) menceritakan obyek obyek sejarah Jembatan Hujung Galuh, Industri Ngagel, Jembatan BAT, Bungkul, dan Dinoyo.
Klaster C (Jembatan Gubeng) dengan obyek obyek sejarah yang terdiri dari: Jembatan Gubeng, Dam-Sluis Gubeng, Monumen Kapal Selam, RS Simpang, Stasiun Kereta Api Gubeng, Marine Kazerne Gubeng, Jembatan Kayoon, Bagong dan Keputran.
Klaster D (Jembatan Simpang) menceritakan obyek obyek sejarah Jembatan Simpang, Balai Kota, Rumah Dinas Walikota, Kawasan Simpang, Balai Pemuda, Grahadi, Taman Prestasi dan Taman Ekspresi.
Klaster E (Jembatan Peneleh) meliputi Jembatan Peneleh, Makam Peneleh, Sumur Jobong, Rumah Lahir Bung Karno, Rumah HOS Tjokroaminoto, Alun Alun Contong (Gedung PIM), Rumah Abu Boen Sin Kong Soe, Lawang Seketeng, Masjid Jamik Peneleh, Deutscher Verain, Kantor Kabupaten Surabaya dan Percabangan Sungai Kalimas-Pegirian.
Klaster F (Pasar Besar) menarasikan obyek obyek Jembatan Pasar Besar, Kampung Semut dan Pengampon, Sulung, Gubernuran Jawa Timur, Jembatan Bibis, Kebon Rojo, Makam Bibis, Lindeteves, Stasiun Semut, Jembatan Kereta Api Sulung dan Tambak Bayan.
Klaster G (Jembatan Merah) yang terdiri dari kawasan Kampung Eropa menyajikan Jembatan Merah, Gedung Resident, Willemplein, Gereja Protestan, Kota Eropa, Dermaga Willem (Willemkade), Benteng Belvedere dan Kampung Pecinan seperti Kembang Jepun serta Kampung Melayu yang terdiri dari Pelabuhan Lama Surabaya, Langgar Gipo dan Ampel Dento.
Klaster H (Jembatan Petekan) adalah bagian utara dengan obyek obyek Jembatan Petekan, Benteng Prins Hendrik, Industri (Ned Indies Industri), Kanal Kalimas, Pelabuhan Rakyat Kalimas, Marine Establishment, Pergudangan dan Pelabuhan Laut Tanjung Perak. (Tim)
One thought on “Adi Sutarwijono, Ketua DPRD Kota Surabaya Luncurkan Buku Sejarah Surabaya dan Disaksikan Sejarawan Belanda. ”