Puluhan relawan kemanusiaan yang tergabung dalam Indonesia Emergency Team (IET) mengunjungi di Lodji Besar, Jalan Makam Peneleh, Surabaya, Kamis (15/2/2023) malam.
Kedatangan komunitas IET tersebut dalam upaya peningkatan kapasitas relawan dalam memberikan layanan publik. Mereka mendapat pelatihan tentang penanganan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan belajar tentang sejarah.
Ketua Tim Medis IET dr. Jimmy Taruna T.F, memberikan pelatihan ketrampilan pertolongan pertama pada kecelakaan dalam rangka peningkatan kapasitas relawan.
“Kami memang berupaya menambah kapasitas rekan-rekan di IET agar mereka bisa memberikan layanan pertolongan pertama pada kecelakaan. sehingga mereka tidak sekedar melakukan pengawalan ambulans ke rumah sakit. Pelatihan P3K ini tidak tertutup untuk anggota IET saja, tapi terbuka untuk masyarakat luas meski tidak memiliki latar belakang medis,” terang Jimmy.
Dia lalu menjelaskan, secara historis organisasi Palang Merah bermula dari relawan kemanusiaan. Jauh sebelum perang Dunia Pertama dan Kedua. Mereka bukanlah tenaga medis rumah sakit seperti perawat dan dokter, tapi masyarakat umum yang rela membantu orang lain demi kemanusiaan. Mereka dilatih bagaimana caranya menolong korban perang kala itu.
Jimmy berpendapat, belajar sejarah ada manfaatnya. Termasuk sejarah Palang Merah Indonesia (PMI) yang tugasnya memberi pertolongan kemanusiaan.
“Berangkat dari fakta sejarah inilah, kami mendedikasikan diri dengan memberi pelatihan pertolongan pertama pada kecelakaan kepada anggota komunitas IET dan masyarakat umum,” tegasnya.
Jimmy berharap para relawan IET bisa menambah ketrampilan dalam upaya pertolongan dan penyelamatan jiwa seseorang.
“Jika mereka mendapati orang mengalami kecelakaan, mereka bisa langsung memberikan pertolongan pertama sebelum tenaga medis datang atau korban dibawa ke rumah sakit,” kata Jimmy.
Muhammad Bayu Samudra Ratmono, founder IET, mengungkapkan bahwa komunitas berdiri sejak 2020. Kegiatannya membantu mobil-mobil ambulans agar lebih cepat dan lancar aksesnya ke rumah sakit.
“Karenanya, kami dari IET membentuk jejaring yang namanya Mitra Ambulance. Tidak hanya pengawalan dan penunjuk arah di jalan, tapi juga membantu mengoneksikan antara ambulans dan rumah sakit,” jelas Bayu.
Ketua Begandring Soerabaia Nanang Purwono menyambut baik kehadiran IET dalam kolaborasi komunitas untuk kemanusiaan.
“Ini makin memperkaya khazanah kesejarahan yang menjadi passion komunitas Begandring Soerabaia. Apalagi IET tidak hanya hadir dalam ilmu dan ketrampilan tentang P3K, tapi juga pengetahuan sejarah Kepalang-merahan, yaitu sejarah Palang Merah Indonesia (PMI),” kata Nanang.
Kata dia, pelatihan dalam bentuk kolaborasi antara IET dan Begandring Soerabaia ini menjadi Creative Hub anak-anak muda di Kota Pahlawan.
Sejarah PMI
Selain praktik pelatihan pertolongan pertama, anggota komunitas Indonesia Emergency Team juga mendapat bekal pengetahuan tentang sejarah lahirnya Palang Merah.
Menurut dr. Jimmy Taruna T.F, sejarah PMI atau sejarah kepalangmerahan di Indonesia sudah ada sejak masa sebelum Perang Dunia ke-2. Pada 21 Oktober 1873, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlandse Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang (1942-1945).
“Sebetulnya, perjuangan dalam mendirikan Palang Merah Indonesia diawali sejak sekitar tahun 1932. Rencana pendirian PMI itu mendapat dukungan luas, terutama dari kalangan terpelajar Indonesia. Mereka yang tergabung dalam organisasi ini umumnya adalah warga biasa, bukan perawat dan bukan pula dokter. Kegiatan tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan,” papar Jimmy.
Tapi rancangan pendirian PMI, ketika dibawa ke dalam sidang Konferensi Nerkai pada 1940 ditolak mentah-mentah. Saat pendudukan Jepang (1942-1945), para pelopor pendiri PMI kembali mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional.
“Namun, sekali lagi, upaya tersebut mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang, sehingga untuk kedua kalinya rancangan itu gagal,” terang Jimmy.
Baru pada 3 September 1945, tepatnya tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional.
Atas perintah Presiden Soekarno tersebut, maka pada 5 September 1945 dibentuklah Panitia 5 oleh Dr. Buntaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet I. Akhirnya, pada 17 September 1945, Perhimpunan Palang Merah Indonesia berhasil dibentuk dan diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta.
“Dalam ketentuan internasional bahwa dalam satu negara hanya ada satu perhimpunan nasional, maka pada 16 Januari 1950, pemerintah Belanda membubarkan NERKAI dan menyerahkan asetnya ke PMI,” tandas Jimmy.
“Dalam proses penyerahan aset ini, Pihak NERKAI diwakili oleh dr. B. Van Trich, Sedangkan dari PMI diwakili oleh dr. Bahder Djohan,” imbuhnya.
Jasa dr. Soewandhie
Perang Surabaya pada November 1945 terjadi pada pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di sanalah PMI berperan dalam membantu korban korban perang. Salah satu dokter yang berperan pada masa itu adalah dr. Mohamad Soewandhie.
Achmad Zaki Yamani, Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan Begandring Soerabaia yang hadir dalam pelatihan PPPK itu, berbagi cerita tentang sejarah PMI dalam pertempuran Surabaya pada 1945.
Menurutnya, jasa dr. Soewandhie dalam pertempuran 10 November 1945 Surabaya sangat besar. Tak heran Pemkot Surabaya kemudian mengabadikan namanya menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
“Jasa dr. Soewandhie dalam pertempuran Surabaya sangat besar. Ia banyak merawat para pejuang yang terluka akibat pertempuran,” jelas Zaki.
Zaki menambahkan bahwa dr. Soewandhi sebenarnya bukan satu-satunya dokter yang ada pada masa revolusi. Sebab juga ada sejumlah dokter lainnya yang punya peran besar merawat para pejuang yang terluka saat pertempuran.
“Selain dr. Soewandhi, ada juga drg Moestopo dan dr Soetopo ikut merawat dan mengobati para pejuang. Soetopo kala itu menjabat Kepala Rumah Sakit Simpang,” kata Zaki.
Pada masa revolusi kemerdekaan, dr. Soewandhie tidak lain adalah Ketua PMI Surabaya pertama. “Karena peran dan jasanya, dr. Soewandhie kemudian diangkat menjadi Ketua PMI Jatim,” imbuh Zaki.
Dalam pertempuran 10 November 1945, terang Zaki, dr.Soewandhie merawat para pejuang yang terluka di Rumah Sakit Simpang. Saat itu bersama Kepala Rumah Sakit dr Soetopo mengevakuasi sekitar 3 ribu pejuang yang terluka keluar Surabaya. Dalam aksi evakuasi kemanusiaan itu, mereka dibantu relawan relawan. (tim)
One thought on “Pelatihan dan Sharing Sejarah, Relawan IET Kunjungi Lodji Besar”