Begandring.com–Pembukaan kilang minyak Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM) pada 1887 oleh Ir. Adrian Stoop di daerah Wonokromo Surabaya menandai dibukanya pertambangan minyak di Hindia-Belanda. Namun, makna keberadaannya tak melulu soal industri, melainkan juga revolusi.
Fakta itu terkuak dalam diskusi Begandringan bertema Surabaya Kota Minyak (2/2). Bertempat di Lodji Besar Peneleh, diskusi rutin perdana Komunitas Begandring di tahun 2024 ini menghadirkan tiga narasumber utama.
“Pada 1879, Adrian Stoop ini awalnya ditugasi Belanda bukan mencari minyak, melainkan menggali sumur air tanah. Namun, yang dia temukan justru endapan minyak mentah,” ujar Agung Widyanjaya. Alumnus Teknik Kimia ITS ini kemudian membabar lini masa industri minyak di Hindia Belanda.
Agung Widyanjaya mempresentasikan sejarah minyak di Surabaya. Foto: Begandring.com
Agung menuturkan, perjalanan Adrian Stoop dalam menambang minyak di Surabaya bukan tanpa rintangan. Laporan bisnis yang Stoop tawarkan pada Belanda ditolak. Stoop diminta menjalankan sendiri idenya tersebut.
Stoop menjawab tantangan itu. Pada 22 Juli 1887, Stoop akhirnya mendapat konsesi kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi Sumber Daya Minyak Bumi di Jawa.
“Stoop mendapat hak untuk eksplorasi, pengumpulan, pemurnian, penjualan, hingga pengangkutan minyak bumi di Jawa,” tegasnya. Dalam penelusurannya, Agung menemukan data bahwa kilang minyak pertama yang dibangun Stoop berada di Desa Koeti, Soerabaia.
“Hasil olahan minyaknya diberi nama Java Petroleum,” ujar Agung.
Sketsa berjudul Goenong Sarie, Petroleumbron tahun 1880, karya O.G.H Heldring. Sumber: KITLV
Dalam konteks lebih luas, Agung menyebut kilang minyak di Surabaya memang lebih kecil jika dibandingkan dengan Balikpapan, yang saat itu menjadi kilang terbesar. Sehari, kilang Balikpapan memproduksi 35.000 barel. Kilang tersebut didirikan pada 1897 dan dimiliki Bataafse Petroleum Maastchappij.
“Kilang Wonokromo ini jumlah produksinya memang 2.000 barel/hari. Namun, didirikan pada 1890. Dimiliki oleh Bataafse Petroleum Maastchappij juga, dibeli dari Dordtsche Petroleum Maatschappij milik Adriaan Stoop. Kalau dilihat dari lini masanya, kilang Wonokromo adalah yang tertua di Hindia Belanda,” jelas Agung.
Minyak dan Revolusi
Keberadaan kilang minyak Wonokromo tidak hanya bermakna penting dalam sejarah perkembangan industri di Surabaya, melainkan juga menguatnya jejaring kelompok pergerakan yang melibatkan buruh minyak. Bahkan, berlanjut pada pertempuran 10 November 1945 di mana para buruh minyak ikut angkat senjata.
“Ada tokoh yang namanya relatif jarang disebut, namun sebenarnya punya peranan amat penting. Namanya Djohan Sjaroezah. Dia memang tokoh di balik layar, peranannya amat penting. Tidak ada simpul pergerakan di Surabaya yang tidak terkait dengannya,” ujar Kuncarsono Prasetyo.
Founder komunitas Begandring sekaligus pemilik Lodji Besar Peneleh itu lantas membabar jejaring pergerakan di masa 1940an di Surabaya.
“Tahun 1943, Djohan menjadi pegawai di BPM Wonokromo. Misinya tidak semata bekerja, tapi menghimpun serikat-serikat buruh minyak lain di Krukah, Lidah, Wonokromo, Ngoblo, dan Wonosari,” ujarnya.
Kuncarsono menjelaskan tentang Gerakan Buruh Minyak. Foto: Begandring.com
Konsolidasi buruh itu, lanjut Kuncar, menjelma kekuatan signifikan. Terbukti pada 17 September 1945, Serikat Buruh BPM Wonokromo menginisiasi Rapat Akbar di Lapangan Pasar Turi, Surabaya, merespon situasi pasca-Proklamasi Kemerdekaan.
Sementara itu, Nevy Eka Pattiruhu, pegiat Begandring spesialisasi sejarah perkertaapian membabar riwayat Stasiun Wonokromo serta rute pengangkutan hasil minyak bumi di Surabaya dan sekitarnya. Nevy juga menjelaskan detil lokomotif yang digunakan. “Sebagian lokomotif itu diproduksi di Jerman, sebagiannya lagi di Belanda. Jumlahnya sekitar dua puluh dua lokomotif, bisa dilihat dari dua digit akhir nomer serinya,” ujarnya.
Begandringan edisi Surabaya Kota Minyak itu diapresiasi baik oleh publik. Sekitar 75 peserta hadir dari berbagai kalangan, mulai mahasiswa, pegiat sejarah klasik, komunitas reenactor, dan lainnya, pimpinan DPRD Kota Surabaya, dan lainnya.
Dr. Amien Widodo, pakar Teknik Geofisika Institut Teknologi 10 November (ITS), ikut membersamai diskusi tersebut.
“Saya kira ini diskusi yang amat bagus. Memang benar di Surabaya pernah memiliki beberapa titik pengeboran minyak. Bahkan kalau dari hasil pindai, kalau mau digali, itu pipa-pipanya masih ada tertimbun aspal. Makanya, sesekali masih keluar minyaknya,” ujar pria yang juga peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) ITS.
“Nanti kita bisa lanjutkan diskusi ini di lain kesempatan. Saya bisa urun berbagi penjelasan dari aspek geofisika, kenapa kok beberapa wilayah di Surabaya pernah potensial menjadi penghasil minyak,” tandasnya. (*)
Foto-foto Kilang Minyak Wonokromo. Sumber: Dari berbagai sumber, dihimpun oleh Pusat Data Begandring
One thought on “Begandringan: Melacak Jejak Surabaya Kota Minyak sejak 1880”