Gunung Lawu, Antara Mistisisme dan Sejarah

Gunung Lawu berketinggian 3265 meter Dpl, termasuk dalam jajaran gunung dengan ketinggian di atas tiga ribuan meter yang ada di wilayah Jawa Timur, selain Gunung Arjuno (3339 m), Gunung Welirang (3156 m), Gunung Semeru (3676 m), Gunung Argopuro (3088 m), dan Gunung Raung (3344 m).

Secara administrasi wilayah, Gunung Lawu diapit wilayah Kabupaten Karanganyar (Jawa Tengah), Kabupaten Magetan dan Kabupaten Ngawi (Jawa Timur).

Di kalangan masyarakat spiritual, Gunung Lawu terkenal dengan nilai kesakralan dan mistis. Maka itu hingga kini kearifan lokal tradisinya masih terjaga. Pada momen tertentu seperti peringatan malam Suro, Gunung Lawu ramai didatangi banyak peziarah dan pendaki gunung.

Berdasarkan catatannya, nama kuno Gunung Lawu adalah Wukir Katong yang muncul dalam naskah kuno Tantu Panggelaran. Berdasarkan kamus Jawa Kuno Zoetmulder, Katong berarti dewa, rasa hormat, penghormatan, dan kekaguman.

Naskah Serat Centhini menjabarkan dengan jelas bahwa puncak Gunung Lawu ada lima belas, yaitu :

Di bagian selatan terdapat 7 puncak :

– Hargo Dalem
– Hargo Dumilah (puncak tertinggi)
– Pethapralaya
– Mayang
– Cakrakembang
– Tenjomaya
– Kepanasan

Sedangkan di bagian utara terdapat 8 puncak :

– Hargo Tiling (Dumiling)
– Pekarenan
– Sadewa
– Pamenang
– Candirenggo
– Bayu
– Rimbi
– Kalithi

Selain itu Gunung Lawu juga disebut dalam naskah kuno Serat Manikmaya, terkait keberadaan Gunung Lawu yang termasuk dalam jajaran 18 gunung keramat di Jawa Tengah.

Karya sastra Serat Babad Tanah Jawi, menyebut Gunung Lawu sebagai tempat moksa raja Brawijaya, raja terakhir Majapahit.

Konon, setelah sampai puncak Gunung Lawu, Raja Brawijaya moksa, dan disebut Sunan Lawu yang dihubungkan dengan keberadaan Sendang Drajat yang berada di puncak Gunung Lawu. Hingga kini, masyarakat mempercayai bahwa Gunung Lawu dianggap sebagai tempat topo mukso raja Brawijaya dari Majapahit.

Baca Juga  Schmutzer, Keluarga Peletak Politik Etik Pertama Hindia Belanda

Naskah kuno dari tahun 1500an tentang perjalanan Bujangga Manik, Gunung Lawu juga disebut ketika Bujangga Manik melakukan perjalanan dari Sunda ke Majapahit dan Bali.

Berikut petikan kutipan dari naskah Bujangga Manik :

“Sacu (n) duk Ka Pasugihan/Dipipirna Gunung Wilis
Ku ngaing tebeh kudilna/Datang aing ka Dawuhan
Ngalalar ka Gunung Lawu/inya na lurah Urawan”.

Terjemahan :
“Sampai Pasugihan/Berbaring di balik Gunung Wilis,
Saya pergi melalui selatan/Saya tiba di Dawuhan,
Berjalan melalui Gunung Lawu/di situlah daerah Urawan”.

Kesakralan Gunung Lawu ditunjang dengan banyaknya peninggalan arkeologis yang ada di sekitarnya.

Berikut data sebaran peninggalan arkeologi di Gunung Lawu :

1. Watu Kandang, jejak prasejarah Kemungkinan sebagai tempat pemakaman.
2. Situs Sawit, tradisi megalitik yang merupakan tempat pemujaan terhadap leluhur.
3. Situs Selembu, kemungkinan berasal dari masa Mataram Kuno.
4. Rumah Arca, periode klasik, tempat penyimpanan benda-benda arkeologi
yang ditemukan di Kabupaten Karanganyar (museum).
5. Situs Menggung, periode klasik, sealain itu unsur tradisi megalitik cukup terlihat.
6. Candi Buntar , periode klasik.
7. Candi Cetho, periode klasik, dari angka tahun yang ditemukan kisaran Abad ke-15. Merupakan bangunan punden berundak yang terdiri dari 13 teras.
8. Candi Kethek, periode klasik, merupakan bangunan punden berundak terdiri dari 4 teras, diduga dari abad ke-15.
9. Candi Sukuh, periode klasik, dari angka tahun yang ditemukan dari Abad ke-15. Merupakan bangunan punden berundak yang terdiri dari 3 teras.
10. Situs Planggatan, periode klasik dari Abad ke-15. Merupakan reruntuhan bangunan punden berundak terdiri dari 3 teras.
11. Argo Dumilah, periode klasik, ditemukan sebuah inkripsi yang menunjukkan tahun 1438 M. Bangunan punden berundak dengan 6 teras.
12. Argo Dumilah Timur, periode klasik, bangunan punden berundak 5 teras.
13. Argo Dumilah Utara, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 5 teras.
14. Argo Dumilah Barat, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 3 teras.
15. Argo Dalem Barat, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 5 teras.
16. Argo Dalem Barat Laut, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 5 teras.
17. Argo Dalem Selatan, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 2 teras.
18. Argo Dalem Timur, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 7 teras.
19. Sendang Drajat , tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 5 teras.
20. Pasar Dieng, tradisi Megalitik, bangunan punden berundak 7 teras.
21. Cemoro Bulus , periode klasik Satu periode dengan situs Candi Sukuh, situs Planggatan,
dan situs Candi Cetho.

Baca Juga  Quo Vadis Revitalisasi Kota Lama Surabaya

Gunung Lawu kadang juga disebut Wukir Mahendra dan hingga kini dipercaya oleh masyarakat memiliki misteri yang belum terpecahkan.

Mitos-mitos tentang pasar setan, burung jelmaan Kyai Jalak, larangan memakai baju hijau, hingga larangan pendakian dengan jumlah ganjil, sebagian dialami oleh para pendaki yang mencoba menembus belantaranya.

Unen-unen Jawa sempat muncul mewarnai kemistikan Gunung Lawu, “Jalmo Moro Jalmo Mati. Wonosetro Gondo Mayit” (bagi yang datang akan mati, hutan pekuburan yang berbau mayat). (*)

*) R. TP Wijoyo, pegiat sejarah klasik Begandring Soerabaia

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *