Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM) Surabaya menggelar diskusi Filsafat Pancasila, Kamis (13/4/2023).
Kegiatan tersebut digelar di Kampus UKWM, Jalan Raya Kalisari Selatan, Kompleks Pakuwon City, Surabaya.
Ketua Begandring Nanang Purwono menjadi pembicara dalam acara itu. Ikut mendampingi, Yayan Indrayana (sekretaris Begandring Soerabaia) dan Ita Surojoyo (pegiat budaya Jawa).
Nanang menjelaskan, dalam sila pertama Pancasila terkandung butir-butir yang menyatakan upaya mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Selain itu juga adanya upaya membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Termasuk mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
“Butir butir itu ada karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbhineka, berbeda beda dan beragam, tetapi tetap satu. Untuk senantiasa tetap satu sekarang dan selamanya, maka diperlukan adanya sikap hormat menghormati, toleransi dan saling membantu, utamanya antar pemeluk agama yang beragam itu,” kata Nanang.
Dia lalu menyebut beberapa salam, di antaranya Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat Siang, Salam Sejahtera, Salom, Om Swastiastu, Namo budaya, Salam Kebajikan, Rahayu Rahayu Rahayu.
“Itu adalah salam terpanjang di dunia dan adanya hanya di Indonesia,” kata Nanang yang mengangkat tema “Pluralisme Pada Sila Pertama Pancasila”.
Salam terpanjang, imbuh dia, karena berisi ungkapan salam dari masing masing agama dan keyakinan itu, menggambarkan keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia.
Meyakini dan menjalankan agama kepada Tuhan Yang Maha Esa dilindungi dalam Konstitusi negara, khususnya pasal 29 ayat (2) yang berbunyi bahwa negara menjamin kemerdekaan rakyatnya untuk memeluk agama yang dipercaya.
Nanang lalu menjelaskan, pluralisme dalam beragama di Surabaya sudah lama ada. Bahkan jauh sebelum Pancasila lahir pada 1 Juni 1945. Hari lahir Pancasila ini merujuk pada momen sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dalam upaya merumuskan dasar negara Republik Indonesia.
“Setelah melalui beberapa proses persidangan dalam perumusan itu, Pancasila akhirnya dapat disahkan pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Pada sidang tersebut, disetujui pula bahwa Pancasila dicantumkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia yang sah,” kata jurnalis senior itu.
Di Surabaya, tambah Nanang, menghormati agama sudah menjadi bagian dalam hidup dan kehidupan sehari hari masyarakat Surabaya, yang memang sudah majemuk.
Contoh aktual akan produk masa lalu (sejarah) yang bisa dilihat dan diperhatikan hingga sekarang adalah sebuah gerbang di kompleks Kelenteng Hong Tiek Hian di jalan Dukuh Surabaya. Pada bagian atas gerbang itu tertulis 敬 宗, yang dibaca Jing Zong dan artinya Menghormati Keyakinan agama.
Nanang juga mencontohkan bahwa dalam tata ruang Surabaya klasik, yang berupa komplek alun alun di kawasan Kemayoran, di sana terdapat dua rumah ibadah berbeda sifat yang saling berhadapan. Yaitu, Masjid Kemayoran di barat alun-alun dan di timur alun-alun terdapat Gereja Katedral.
Kala itu masyarakatnya, yang beragam etnis dan keyakinan, juga bisa membaur dalam aktivitas bersama meskipun secara hukum telah disekat sekat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hukum itu dikenal dengan Undang Undang Permukiman (Wijkenstelsel).
“Wujud pembauran lainnya yang masih bisa diamati dan dinikmati hingga sekarang adalah seni tradisi Barongsai. Para pemainnya tidak hanya warga etnis Tionghoa, tapi ada Jawa dan Madura,” jelas Nanang ketika mengamati sekelompok anak muda berlatih Barongsai di Kelenteng Boen Bio di Jalan Kapasan, Surabaya, setahun lalu.
Pembauran dan alkulturasi budaya juga nampak pada bangunan Masjid Ampel yang pada bagian mahkota atau puncak masjid terdapat hiasan yang bersifat Hindu Mojopahit.
Yayan Indrayana yang berprofesi sebagai arsitek menambahkan, para pendahulu dalam syiar agama Islam bersikap ramah terhadap keberadaan budaya lokal sehingga dalam mendirikan masjid dan melakukan syiar agama tidak menghapuskan budaya setempat.
“Coba kita lihat pada bagian atap Masjid Ampel, dia berbentuk meru berundak tiga. Di sana ada pengeruh lokal jika dilihat dari sudut pandang arsitektur,” jelas Yayan.
Dia menegaskan bahwa ketika terjadi perubahan besar besaran di segala bidang di Turki pada abad 19, termasuk hadirnya pemurnian pada simbol simbol, maka adanya percampuran unsur seperti pada masjid yang bersifat islami dengan perpaduan budaya lokal yang dianggap ada perpaduan dari kepercayaan atau aliran aliran agama lain, maka masjid harus dibuat satu sifat, yaitu islami.
Perpaduan yang terjadi pada bangunan masjid-masjid di Jawa dianggap sinkretis. Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama.
“Karenanya masjid-masjid di Jawa terpengaruh oleh adanya satu sifat dalam keyakinan sehingga bagian atap masjid berupa kubah,” terang dia.
Di Surabaya, masjid yang sempat mengalami perubahan pada bagian atapnya adalah Masjid Kemayoran. Sementara Masjid Ampel masih bertahan dengan model meru berundaknya.
Harus Berkelanjutan
Beragam tanggapan dari mahasiswa yang mengikuti diskusi Pancasila ini. Salah satu terkait pada sila pertama yang dianggap bentuk kristalisasi dari nilai nilai lokal yang sudah lama ada di Surabaya.
Nilai-nilai itu tidak hanya ada di Surabaya, tapi juga dapat dijumpai di daerah-daerah lain di Indonesia.
“Pancasila yang dirumuskan oleh Soekarno pada dasarnya diambil berdasarkan nilai nilai yang ada sebelumnya di Indonesia,” jelas Marcel, mahasiswa Jurusan Filsafat semester 4.
Kata dia, Pancasila adalah bentuk kristalisasi dari nilai-nilai nilai dasar berketuhanan, berkemanusiaan, persatuan, berkerakyatan dan berkeadilan.
Para peserta diskusi juga memandang perlunya memperluas cakrawala pemikiran dan pemahaman.
“Lebih dalam lagi bahwa acara diskusi semacam itu bisa memperkaya pemahaman kami dalam melihat Pancasila dalam konteks yang lebih luas,” jelas Yustinus, mahasiswa Jurusan Filsafat semester 4.
Yustinus menambahkan, kegiatan diskusi ini juga dapat memperluas relasi atau jaringan, cakrawala pemikiran dan memperluas pemahaman.
Sementara itu Kristoforus Sri Ratulayn Kinonara, M.Phil, dosen pembimbing, berharap kegiatan serupa dapat diselenggarakan pada kesempatan lain secara berkelanjutan.
“Ada seorang dosen Ilmu Filsafat di tempat kami yang penelitiannya terkait dengan sejarah. Sedangkan Begandring ini komunitas yang berbasis pada sejarah,” jelas Kristoforus. (tim)