Kontemplasi: Aksara Jawa Semakin Asing dan Lebih Asing Daripada Bahasa Asing. Ironis! 

Begandring.com: Surabaya (19/8/23) – Pada edisi 11 Agustus 2023 lalu Begandring.com menulis artikel yang berjudul “Ita Surojoyo (Begandring Soerabaia) Menerbitkan Buku Anak Beraksara Jawa”. Komentar atas tulisan itu lumayan banyak dan beragam.  Semuanya positif dan suportif. Menyenangkan!

Salah satu komentar datang dari pembaca Erni Sulistiana, yang menulis sebagai berikut: “Langkah awal mengangkat Aksara Jawa, yang mungkin semakin lebih asing daripada bahasa asing di mata generasi muda Jawa. Semoga buku ini menjadi awal membuat anak-anak Jawa semakin Njawani. Turut bangga dengan karya ini“.

Komentar Erni ini sangat dalam maknanya. Ia kiranya memahami kristalisasi makna, yang penulis sajikan dalam buku yang berjudul “Titi Tikus Ambeg Welas Asih“. Buku ini tidak hanya berupa sajian aksara Jawa saja, tetapi mengandung nilai moral yang cenderung hilang di era modern ini. Yaitu nilai suka menolong dalam bingkai Peduli Sosial.

Buku cerita anak ini ditulis penuh dalam aksara Jawa dan menjadi pemacu belajar bahasa Jawa. Foto: Begandring.

Ita Surojoyo, penulis buku Titi Tikus Ambeg Welas Asih, prihatin hatinya melihat anak muda sekarang tidak mengerti Aksara Jawa. Akhirnya, dia menulis buku dengan komitmen berkarya dalam upaya melestarikan aksara Jawa. Ia berharap ada pihak pihak terkait yang meneruskan pesan, yang tersurat dan tersirat dalam buku yang mengangkat kisah tikus bernama Titi.

Hadirnya buku ini tidak lepas dari fakta yang terjadi di era sekarang. Yaitu generasi sekarang cenderung semakin jauh dari jati dirinya. Generasi muda Jawa seolah kehilangan budayanya. Hadirnya budaya asing, yang tidak sesuai dengan budaya leluhur, semakin kuat.

Anak anak muda: siswa seusia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) lebih terpikat dengan budaya asing seperti Korea daripada memahami Aksara Jawa. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka cepat atau lambat, ilmu leluhur Jawa ini bisa punah. Orang Jawa tidak mengerti Jawanya. Kali ilang kedhunge (sungai kehilangan mata airnya).

Baca Juga  Makam Peneleh Mulai Dipugar, Sinergi Dijalankan
Buku “Titi Tikus Ambeg Welas Asih”, buku beraksara Jawa pertama di era modern. Foto: nng/Begandring.

Penerbitan buku, yang menggunakan bahasa dan Aksara Jawa oleh Ita Surojoyo, adalah sebuah pengingat untuk semua generasi muda Jawa agar tidak lupa dengan jati diri leluhurnya.

Ini produk literasi kekinian yang anti mainstream. Tidak umum di era sekarang. Modern. Bagi orang modern, produk literasi ini seperti gagal move on. Tapi ini produk baik yang idealis. Karenanya, saya berkontemplasi atas fenomena aksara Jawa ini dewasa ini.

Secara pribadi, saya ingat masa lalu saya ketika masih SD di era 1974 – 1979. Waktu itu buku buku tulis saya kebanyakan bersampul kertas merang berwarna coklat dan bertulis namaku “Nanang Purwana” dalam aksara Jawa di kanan atas sampul. Lalu di bagian tengah buku tertulis nama pelajaran. Yang menulis adalah ibu saya.

Buku buku kuno beraksara Jawa di museum Pendidikan Surabaya. Foto: Begandring.

Sekarang ibu sudah tidak ada (berpulang) dan Aksara Jawa di duniaku menjadi asing. Tidak ada lagi simbol simbol aksara Jawa di sekitar saya. Tidak ada sampul buku bertulis aksara Jawa. Tidak ada lagi majalah mingguan berbahasa Jawa seperti Jaya Baya dan Panjebar Semangat di rumah sebagai bahan bacaan. Padahal, di dalamnya disisipkan rubrik pelajaran menulis dan membaca aksara Jawa.

Baru tersadar akhir akhir ini dengan hadirnya buku Titi Tikus yang ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa. Padahal selama 5 tahun terakhir, saya sering melihat aksara Jawa dalam bentuk plakard yang berisi imbauan “awas listrik”. Plakard itu tertulis dalam bahasa Belanda (Levensgevaar), Melayu (Awas Elestrik) dan aksara Jawa yang berbunyi “Sing Ngemek Mati”.

Plakard kuno dengan 3 bahasa: Belanda, Melayu dan Jawa di Lodji Besar Peneleh. Foto: Begandring.

Namun, perhatianku tenggelam dalam kesibukan di sana. Padahal dalam kurun waktu lima tahun itu, saya juga pernah berdiskusi dengan Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, A. Hermas Thony, mengenai digunakannya aksara Jawa untuk menuliskan nama nama jalan di Surabaya. Diskusi ini adalah salah satu poin dalam membicarakan Raperda inisiatif Dewan tentang Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya.

Baca Juga  Sinau : Barabudur
Nanang Purwono (kiri) dan AH Thony (kanan) di ruang kerja AH Thony, DPRD Kota Surabaya. Foto: Begandring.

A Hermas Thony memang berharap aksara Jawa ini bisa digunakan kembali di Surabaya. Penggunaan aksara Jawa bukan hanya di wilayah Jawa Tengah dan Jogjakarta, tetapi ya di Surabaya dan Jawa Timur. Minimal untuk penggunaan nama jalan sebagai identitas.

“Dulu, penulisan dan pemakaian aksara Jawa di Surabaya ini suatu hal yang biasa, baik di buku, papan pengumuman hingga pada plakard”, terang Thony, yang juga tokoh budayawan kota Surabaya.

Buku kuno beraksara Jawa di Museum Pendidikan Surabaya. Foto: nng/Begandring.

Keprihatinan Ita Surojoyo dan angan angan AH Thony sangat beralasan karena aksara Jawa dalam pelajaran Bahasa Jawa kurang mendapat respon dari siswa. Pembelajaran Aksara Jawa dianggap siswa sulit. Apalagi aksara Jawa sudah dianggap tidak dipakai lagi sebagai media baca-tulis sehari-hari.

Kalau toh dipakai, pemakaiannya sebatas sebagai simbol kedaerahan yang disematkan pada nama-nama jalan, gedung-gedung pertemuan, gedung-gedung pemerintahan, dan lain-lain.

Titi Tikus Ambeg Welas Asih. Foto: IS/Begandring.

Karenanya, Ita Surojoyo dengan karyanya “Titi Tikus Ambeg Welas Asih” ingin membuktikan bahwa Aksara Jawa masih layak dipakai sebagai bahasa baca dan tulis. Ini tergantung dari orangnya. Kita!.

Melalui Perda Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Kota Surabaya sebagai turunan dari UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dimana di dalamnya terdapat 10 obyek Pemajuan Kebudayaan, yang salah satunya adalah obyek Bahasa, maka amanah undang undang itu mewajibkan warga negara untuk melestarikan bahasa daerahnya baik melalui tulis dan baca.

Aksara Jawa hasil Kongres tahun 2021. Foto: budaya_jogjaprov.go.id

Karenanya, sekolah sekolah dalam perkembangan teknologi dan zaman harus ikut menyesuaikan diri dalam pengajaran bahasa (aksara) Jawa. Konsekuensinya adalah teknologi yang berkembang harus dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran aksara Jawa.

Baca Juga  10 Jejak Sejarah Klasik Surabaya, Begini Faktanya!

Apalagi sekarang sudah ada cara kekinian menulis aksara Jawa. Yaitu dengan cara digitalisasi menggunakan HP android dan iOS . Karena ini adalah teknologi, maka penggunanya juga tidak boleh gagap teknologi.

Sebuah percakapan Whatsapp menggunakan aksara Jawa. Foto: IS/Begandring.

Pembelajaran menulis aksara Jawa, secara praktis, bertujuan untuk melestarikan aksara Jawa agar tidak punah walaupun sudah tidak digunakan lagi dalam komunikasi tulis secara umum.

Di kota Jember bahkan hadir sebuah museum, yang khusus melestarikan aksara aksara dunia. Salah satunya adalah aksara Jawa. Museum ini digagas oleh Ade Sidiq Permana dan kemudian didirikan pada 19 November 2016. Sebagai apresiasi terhadap buku beraksara Jawa, yang berjudul “Titi Tikus Ambeg Welas Asih” karya Ita Surojoyo, akan dibedah di museum ini.

Ade Sidiq Permana pendiri Museum Aksara Jember. Foto: Begandring.

Bahasa adalah identitas suatu bangsa dan negara, maka kewajiban setiap warga negara sesuai dengan Undang-Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan untuk bersama sama menjaga dan melestarikan nya. (nng)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *