Mengenal Henri Maclaine Pont alias Tuan Kreweng, Pendiri Museum Trowulan-Mojokerto

Sebuah Persembahan untuk Peringatan 100 Tahun Lahirnya Oudheidkundige Vereeniging Majapahit

Penulis: Eva N.S. Damayanti

Semenjak jejak keberadaan Kerajaan Majapahit di Trowulan tercatat dalam buku History of Java karya Gubernur Jenderal Raffles, Trowulan seakan menjadi magnet bagi para ilmuwan Eropa pecinta sejarah dan kebudayaan. Di antara orang-orang tersebut adalah Ir. Henri Maclaine Pont.

Bagi para pecinta sejarah arsitektur di Indonesia, tentu namanya tidak asing lagi. Seorang arsitek kelahiran Hindia Belanda yang mempunyai ketertarikan cukup besar terhadap dunia arkeologi atau kepurbakalaan.

Sosok Henry Maclaine Pont alias Tuan Kreweng. Sumber: Eva N.S. Damayanti

Adrian Perkasa dalam buku Sandhyakala ning Majapahit menuliskan, ketertarikan Maclaine Pont terhadap Trowulan setidaknya dimulai sejak awal tahun 1920-an ketika ia bekerja di Burgerlijk Geneeskundige Dienst dan ditugaskan di Surabaya selama 3 bulan.

Ia menghabiskan akhir pekan untuk mengunjungi Trowulan ditemani Bupati Mojokerto, Raden Adipati Aryo Kromojoyo Adinegoro ,yang juga memiliki ketertarikan yang sama di bidang kepurbakalaan.

Maclaine Pont merupakan pencetus berdirinya sebuah yayasan atau instansi partikelir yang bertujuan untuk mengadakan penyelidikan atas keberadaan jejak ibukota Kerajaan Majapahit di Trowulan.

Idenya telah mendapat persetujuan dari Oudheidkundige Dienst atau Jawatan Purbakala berkedudukan di Jakarta yang saat itu dikepalai oleh Frederik David Kan Bosch (F.D.K. Bosch). Yayasan Maclaine Pont bernama Oudheidkundige Vereeneging Majapahit (disingkat OVM) yang berdiri tahun 1924.

Guna mengintensifkan penyelidikan ini maka pada tahun 1925, Maclaine Pont pindah ke Trowulan Mojokerto dan menempati sebuah bangunan yang disewanya dari seorang pegawai Pabrik Gula Mojoagung Jombang.

Ketika Museum Trowulan didirikan setahun kemudian, rumah tinggal ini disebut sebagai bangunan A. Hal ini tercatat dalam buku Petunjuk Singkat Warisan Budaya Majapahit karangan Soeyono Wisnoewardhana tahun 1986.

Baca Juga  Kisah Adriaan Stoop dan Kilang Minyak Wonokromo: Kilang Pertama di Hindia Belanda

Penyelidikan atas bukti-bukti keberadaan ibukota Majapahit di Trowulan membawa Maclaine Pont “bergerilya” mencari berbagai macam artefak di lapangan maupun di masyarakat.

Peta rekonstruksi tata kota ibukota Majapahit yang dibuat Mclaine Pont tahun 1926. Sumber: Buku 1884 – 1971 Henri Maclaine Pont: architect, constructeur, archeoloog.

Memori Masyarakat

Di kalangan masyarakat, Maclaine Pont lebih dikenal dengan panggilan Tuan Sinir (maksudnya insinyur) atau Tuan Kereweng/Kreweng. Kreweng adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti pecahan genting.

Julukan-julukan tersebut disematkan oleh masyarakat karena menurut mereka pekerjaan Maclaine Pont seolah-olah hanya mencari dan mengumpulkan kereweng saja. Karena itu pada masa dulu nama Kerewengan lebih dikenal daripada nama Museum Trowulan.

Pada akhirnya meskipun krewengan secara harfiah merujuk pada pecahan genting, namun dapat diartikan secara luas sebagai pecahan tembikar atau terakota (tanah liat yang dibakar sampai berwarna kemerahan).

Julukan Tuan Kreweng dan Tuan Sinir yang disematkan oleh masyarakat kala itu ternyata masih terpatri di ingatan masyarakat Desa Bejijong, Trowulan hingga saat ini.

Suatu hari, sekira tahun 2018, penulis pernah mendengarkan cerita dari 2 orang cucu keponakan Buyut Sabar, seorang warga Desa Bejijong yang pernah bekerja menjadi asisten Maclaine Pont. Kedua warga desa tersebut bernama Pak Nuryadi (68 tahun, pensiunan pegawai purbakala) dan Bu Sumberasih (65 tahun, ibu rumah tangga).

Bu Sumberasih bercerita bahwa ibunya yang bernama alm. Mbah Tin waktu kecil pernah tinggal di sebuah bangunan yang sebenarnya digunakan sebagai dapur dan gudang rumah Maclaine Pont karena waktu itu Mbah Tin kecil diasuh oleh Buyut Sabar, pamannya.

Para pegawai dan keluarganya yang tinggal di lokasi tersebut memanggil Maclaine Pont dengan sebutan Tuan Sinir karena lidah orang Jawa pada saat itu susah untuk menyebut kata “insinyur”.

Baca Juga  Urgensi Corporate Heritage Responsibility

Lain Bu Sumberasih, lain pula cerita Pak Nuryadi. Ia mendapat cerita tentang Tuan Kreweng langsung dari Buyut Sabar. Menurut Pak Nuryadi, masyarakat Trowulan yang akan menyerahkan temuan diminta untuk berbaris rapi memanjang.

Setelah menyerahkan temuan, Tuan Kreweng akan memberi imbalan namun Pak Nuryadi tidak mengetahui berapa nominal imbalan yang diterima oleh masyarakat karena Buyut Sabar tidak menjelaskannya.

Selain dikenal sebagai orang Eropa yang peduli dengan dunia pubakala, Tuan Kreweng juga dikenal sebagai seorang dermawan. Lagi-lagi Pak Nuryadi bercerita bahwa di antara masyarakat yang berbaris untuk menyerahkan temuan, terdapat pula para pengemis.

Tuan Kreweng akan menolak memberi uang apabila ia mengetahui bahwa pengemis tersebut merupakan warga Trowulan. Ia hanya akan memberi uang kepada para pengemis yang berasal dari daerah Bendokarang, Tanggalrejo, Jombang yang berlokasi sekitar 1 km dari Museum Trowulan. Pada zaman Hindia Belanda memang di daerah tersebut pernah dibangun pusat penampungan gelandangan dan pengemis guna mengatasi masalah sosial.

700 Tahun Majapahit

Buku 700 Tahun Majapahit menyatakan bahwa temuan-temuan artefak yang berwujud terakota mendominasi temuan di daerah Trowulan, yang diidentifikasi oleh para ahli bahwa temuan tersebut berasal dari periode Majapahit.

Hal ini juga ditegaskan bahwa di Trowulan dan sekitarnya yang dipercaya sebagai situs bekas pusat Kerajaan Majapahit, telah ditemukan keramik-keramik tidak berglasir (terakota) dalam jumlah melimpah. Bentuknya bermacam-macam antara lain berupa bata, genting, miniatur bangunan, patung-patung kecil, jobong (dinding sumur), bak air, pipa air serta berbagai jenis wadah.

Temuan-temuan tersebut ditemukan bersama-sama dengan keramik dari Cina, Vietnam, dan Thailand yang kebanyakan berasal dari abad XIII-XV M. Waktu itu Majapahit mempunyai hubungan baik dengan negara-negara penghasil keramik asing tersebut.

Baca Juga  Begandring Soerabaia: Butuh Sekolah Heritage (School of Heritage)

Atas dasar hal tersebut dapat dipastikan bahwa sebagian besar keramik tidak berglasir di Trowulan memang hasil karya seniman atau pengrajin Majapahit dan bukan dari masa sebelum atau sesudah Majapahit.

Temuan harta karun berbahan terakota bercirikan masa Majapahit yang melimpah membuat Maclaine Pont mendirikan 2 bangunan baru dalam kurun waktu 1925 – 1928. Dua bangunan tersebut dinamakan bangunan B dan bangunan C. Bangunan B merupakan bangunan semi terbuka berbahan kayu dan bergaya joglo, sedangkan bangunan C berbentuk seperti belimbing yang mengambil model dari Kasunanan Cirebon.

Bangunan A, B, dan C berderet dari arah barat ke timur. Museum Trowulan diresmikan pada tanggal 22 Mei 1931 seperti yang diberitakan di dalam surat kabar Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië tanggal 27 Mei 1931. Peresmian dihadiri oleh beberapa pejabat penting, di antaranya mantan Bupati Mojokerto, Raden Adipati Aryo Kromodjojo Adinegoro yang juga sekaligus menjadi wakil ketua Oudheidkundige Vereeneging Majapahit.

Artefak berbahan tanah liat (baik yang masih utuh maupun fragmentaris) yang telah dkumpulkan oleh Maclaine Pont kini menjadi koleksi Unit Pengelolaan Informasi Majapahit (Unit PIM) atau yang dikenal masyarakat sebagai Museum Majapahit.

Unit PIM terletak sekitar 2,5 km ke arah selatan dari Museum Trowulan yang pernah didirikan oleh Maclaine Pont. Kini lokasi Museum Trowulan menjadi kantor Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI Jawa Timur yang menaungi Unit Pengelolaan Informasi Majapahit (*)

 

Eva N.S. Damayanti. Penyuka sejarah dan Reenactor Modjokerto.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *