Masuk Senin pertama tahun 2023, perkumpulan pegiat sejarah Begandring Soerabaia langsung ngegas dan melesat.
“Ini bukan curi start, tapi mesin sudah menyala, panas, full power dan gerbong sudah terisi. Begitu tahun 2023 dibuka, lokomototif dan rangkaian gerbong ini melesat meninggalkan lainnya. Martilnya adalah film Soera Ing Baja,” kata Nanang Purwono, Ketua Begandring Soerabaia usai nonton film dokumenter Soera ing Baja di Cineplex XXI Tunjungan Plaza 1, Senin (2/1/2023).
Film dokumenter drama (dokudrama), film Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi ’45, hasil produksi kolaboratif antara Begandring Soerabaia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga, TVRI Jawa Timur, dan Pemerintah Kota Surabaya tayang perdana di Cineplex XXI Tunjungan Plaza 1 untuk mengawali tahun 2023.
Penayangan perdana di layar lebar ini membuat Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi merinding. Ia terharu dengan pesan yang disampaikan dalam film itu.
Pesannya, Surabaya Wani (berani). Film yang disutradarai Faizal Anwar (TVRI) dengan co-sutradara Ahmad Zaki Yamani (Ketua Divisi Pendidikan dan Latihan Begandring Soerabaia) memang memvisualkan sifat keberanian Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan pasca proklamasi 17 Agustus 1945.
“Tangan saya sampai merinding melihat film tadi. Terima kasih Begandring Soerabaia yang sangat dan selalu konsisten merawat sejarah Surabaya,” kata Eri Cahyadi dalam sambutannya usai nonton bersama yang dihadiri jajaran OPD, anggota DPRD Surabaya, keluarga besar FIB Unair, dan masyarakat Surabaya.
Begandring sebagai perkumpulan pegiat sejarah Surabaya memang selalu konsisten sejak didirikan pada November 2018. Eri Cahyadi sendiri menjadi motor pelecut lahirnya Begandring ketika ia masih sebagai Kepala Bappeko Surabaya.
Menurutnya, film Soera Ing Baja, Gemuruh Revolusi ’45 adalah buah karya yang luar biasa karena mampu memvisualkan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan yang utuh mulai dari peristiwa proklamasi pada 17 Agustus 1945 hingga dibangunnya monumen kepahlawanan pada 10 November 1951 sebagai pengingat peristiwa besar yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.
Di film ini, Eri Cahyadi yang berperan sebagai Presiden RI Soekarno, ternyata masih terjiwai oleh sosok Soekarno. Dalam memberi sambutan usai nonton film, ia masih bergaya ala Soekarno.
“Kita telah ditunjukkan bagaimana Arek-Arek Surabaya mempertahankan kemerdekaan dalam melawan penjajah kala itu. Sekarang kita bukan lagi melawan penjajah, tapi melawan kemiskinan, gizi buruk, stunting, putus sekolah dan kebodohan,” kata Eri berapi api.
Ia menambahkan, film ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan nilai kepahlawanan pada generasi penerus bangsa. Sehingga film ini layak menjadi tontonan wajib bagi sekolah sekolah SD dan SMP yang ada di bawah kewenangan Pemerintah Kota Surabaya.
“Untuk itu akan kami sediakan tempat untuk nonton bareng (nobar) film ini. Nanti ada dua studio yang kita siapkan,” ujar Eri.
“Film Soera Ing Baja ini sangat sarat akan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat kejuangan dan cocok menjadi tontonan serta tuntunan bagi generasi muda Surabaya,” kata Renny Astuti, Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya usai menonton film.
Menurutnya, selain dirinya, ada sekitar 10 anggota dewan yang datang dan nonton film Soera ing Baja ini. Film yang diproduksi secara kolaboratif ini menjadi contoh bagaimana sejarah Surabaya dapat divisualkan untuk mempertegas kebenaran sejarah Surabaya. Bukan tidak mungkin akan ada film-film lain yang bisa diproduksi untuk menggambarkan sejarah Surabaya.
Prof. Purnawan Basundoro, dekan FIB Unair, dalam diskusi dengan Renny Astuti sebelum film dimulai, menyampaikan temuan-temuan baru terkait sejarah Surabaya perlu mendapat perhatian. Misalnya terkait dengan temuan Sumur Jobong di Kampung Pandean, 2018.
Selain itu, sejarah kota lainnya adalah terkait dengan Hujunggaluh dan lokasi peristiwa perang dan terusirnya tentara Tartar dari Jawa pada 1293. Lantas muncul pertanyaan penting dan mendasar, apakah benar kali Jagir menjadi jalan keluar Tartar dari Pulau Jawa?
“Tentara Tartar dalam sejarah Surabaya dituliskan bahwa mereka meninggalkan Pulau Jawa dari Kali Jagir pada 1293. Padahal dalam peta 1719, kali itu belum ada. Bagaimana Tentara Tartar bisa keluar dari Pulau Jawa dengan melewati Jagir?” kata Kuncarsono Prasetyo.
Kiranya sejarah kota semacam itu yang kelak perlu divisualisasikan untuk memberikan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan. Karenanya narasi sejarah harus benar-benar berdasarkan data dan fakta serta bukti sejarah.
Dengan kolaborasi dan keterbukaan antarunsur unsur pentahelix, maka kedepan film-film edukasi dapat diproduksi untuk mengisi dan menambah khasanah kepustakaan dalam bentuk film di kota Surabaya. (tim)