10 Jejak Sejarah Klasik Surabaya, Begini Faktanya!

Secara umum, sejarah klasik Indonesia adalah yang terjadi di masa Hindu Budha. Selanjutnya berkembang hingga era Kesultanan dan kasunanan dengan berbagai sistim dan strukturnya yang terjadi di wilayah-wilayah bawahannya. Misalnya, pascapenaklukan Surabaya oleh Mataram pada 1625.

Struktur pemerintahan Kadipaten hingga Kabupaten yang bersifat lokal (dikepalai oleh pribumi) menjadi kisah kisah yang kemudian disebut klasik. Bersinggungannya administrasi kabupaten di era kolonial menjadi masa transisi dari Klasik (pra kolonial) ke kolonial ketika bangsa Eropa mulai masuk Nusantara.

Di Surabaya, jejak jejak sejarah masa klasik tidak mudah didapat dibandingkan dengan peninggalan masa kolonial. Tapi, bukan berarti jejak sejarah klasik tidak bisa ditemukan.

Jika mengartikan sejarah masa klasik Surabaya sebagaimana terdefinisikan di atas, maka ada sisa sisa yang bisa diidentifikasi. Dari pengidentifikasian itu , kiranya bisa menjadi pintu masuk untuk membuka kisah dan riwayatnya.

“Mumpung jejaknya masih ada, kita bisa melacaknya. Nanti ketika sudah hilang, kita akan kesulitan melacak karena semua hanya bayangan”, kata Nanang Purwono, yang  selama ini melakukan penelusuran jejak jejak sejarah klasik Surabaya.

Berikut hasil pelacakan yang telah disusun secara kronologis berdasarkan temuan temuan otentik di Surabaya.

Pertama, kisah Ekspedisi Jawa oleh Tartar di akhir abad 13. Ekspedisi ini adalah cerita nyata. Prasasti, yang diketemukan di pulau Suruan, Kepulauan Kaeimata, Kalimantan Barat, adalah buktinya. Dalam inskripsi, yang beraksara China itu, disebutkan tujuan Tartar menuju Jawa.

Di Jawa memang terjadi peperangan antara prajurit Raden Wijaya melawan serdadu Tartar setelah koalisi mereka mengalahkan Jayakatwang di Kediri. Tarung antara prajurit Raden Wijaya dan tentara Kubilai Kan ini terjadi di pedalaman Jawa yang tidak jauh dari aliran sungai Brantas.

Prajurit Raden Wijaya memenangi peperangan itu dan akhirnya berdirilah kerajaan baru dengan nama Majapahit di desa Trik, Krian, Sidoarjo. Lokasi ini dekat Sungai Brantas. Raja pertama Majapahit adalah Raden Wijaya.

Dikaitkannya sejarah klasik Surabaya dengan Majapahit karena di wilayah kota Surabaya sekarang diketemukan bekas bekas dari pernah adanya peradaban Majapahit. Jadi di era kerajaan Majapahit, Surabaya menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Raja.

Gapura paduraksa Majapahit di komplek Sunan Ampel.

Kedua, di Surabaya masih ditemukan jejak peradaban maritim kerajaan Majapahit. Yaitu berupa jasa tambangan (penyeberangan) sungai. Dari jasa tambangan sungai inilah nama Surabaya dicatat oleh Raja Hayam Wuruk dalam sebuah prasasti yang bernama Prasasti Canggu atau Trowulan I (1358 M).

Baca Juga  Portal begandring.com Diluncurkan di Hari Pers Nasional

Dalam prasasti itu nama Surabaya tertulis Churabhaya. Churabhaya adalah nama desa di tepian sungai yang melayani jasa penyeberangan (naditira pradeca). Di wilayah administrasi kota Surabaya saja, ada 3 naditira pradesa. Yaitu Gsang (Pagesangan), Bkul (Bungkul) dan Churabhaya (Surabaya). Churabhaya adalah desa naditira yang paling hilir di Sungai Brantas.

Menurut Kamus Bahasa Sansekerta (Hindi Kuno) bahwa kata Churabhaya  berasal dari bahasa Sanskerta dan terdiri dari dua suku kata. Yakni Chura dan Bhaya. Chura berarti memangkas atau memotong. Sedangkan Bhaya berarti rasa takut.

Jadi Churabhaya berarti memangkas rasa takut. Dalam bentuk pasif, Churabhaya berarti damai. Dalam bentuk aktif, Churabhaya berarti berani. Dalam nuansa religius Hindu Budha, Churabhaya disimbolkan Abhaya-Mudra (tanpa rasa takut), yang berarti berani.

Sekarang, meski Surabaya menjadi semakin moderen, di sana masih ada peradaban kuno yang berupa jasa tambangan, tepatnya di wilayah Ngagel (Kalimas) dan Pagesangan (Kali Surabaya).

Jasa penyeberangan sungai ini adalah bentuk teknologi tradisional (peninggalan peradaban maritim Majapahit) yang masih ada.

Itulah petunjuk otentik dari era klasik di Surabaya. Karenanya, peninggalan peradaban Majapahit ini patut dilestarikan dan dimajukan.

Ketiga, nama Surabaya tersebut dalam pujasastra Kakawin Nagarakretagama yang ditulis oleh Empu Prapañca yang bercerita tentang perjalanan pesiar Raja Hayam Wuruk, diantaranya, ke Surabaya pada tahun 1365 M.

“Yan ring Janggala lot shaba nepati ring Churabhaya manurus mare Buwun”,  artinya kalau di Jenggala  (Hayam Wuruk) selalu singgah di Surabaya, kemudian meneruskan ke Buwun. (Kakawin Nagarakretagama, pupuh 17: 5c-d).

Meski nama Surabaya tertulis dalam sumber sumber sejarah Prasasti Canggu (1358) dan Kitab Negarakertagama (1365), namun ahli sejarah dan budayawan Surabaya berdarah Jerman GH Von Faber, Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara pada tahun 1275 M. Surabaya, yang lokasinya di delta sungai ini, merupakan permukiman baru bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan pada tahun 1270 M. Lokasi Surabaya yang dimaksud adalah Pandean Peneleh.

Baca Juga  Reaktualisasi Nilai Kejuangan dari GNI
Sumur Jobong Pandean, peninggalan dari era Majapahit.

Keempat, Penemuan sumur Jobong, sumur kuno di kampung Pandean, Peneleh pada November 2018 menjadi petunjuk nyata tentang kekunoan Surabaya sebagaimana tersebut pada sumber sejarah di atas. Dalam penemuan itu tidak hanya berupa sumur, tetapi ditemukan juga fragmentasi tulang manusia dan struktur bangunan.

Dari uji karbon pada fragmentasi tulang tulang manusia di Canberra, Australia, didapati bahwa manusia Pandean yang meninggal tertua adalah pada 1430 M. Karena sumur menjadi bejana ritual kematian, diduga kuat bahwa sumur telah ada sebelum kematian orang Pandean pada 1430.

Kelima, Makam Mbah Bungkul. Sebagaimana tertulis pada prasasti Canggu (1358) bahwa nama Bungkul (Bkul) sebagai sebuah desa di tepian sungai sudah dicatat oleh Raja Hayam Wuruk. Desa Bungkul terletak di selatan Churabhaya.

Bukti pernah adanya sebuah peradaban di Bungkul adalah komplek pemakaman kuno, yang di antaranya adalah makam Mbah Bungkul. Mbah Bungkul atau yang juga disebut Ki Ageng Mahmuddin dikenal sebagai penguasa muslim di daerah ini pada abad ke-14 Masehi.

Inskripsi beraksara Jawa di pemakaman kuno Boto Putih

 

Keenam, Makam Mbah Karimah di Kembang Kuning Keramat. Makam yang secara topografis berada pada dataran tinggi ini memiliki letak yang istimewa. Di bawahnya mengalir sungai yang menjadi  percabangan Kali Surabaya.

Mbah Karimah, yang nama aslinya Mbah Wirasoerojo, ada kaitannya dengan Sunan Ampel. Wirasoerojo adalah mertua Raden Rahmad (Sunan Ampel). Ia adalah satu tokoh penting yang ikut menyebarkan Islam di kawasan Kembang Kuning.

Ketujuh, Ampel Denta. Di sini tempat dimakamkannya Raden Rahmad atau Sunan Ampel dan tempat dimana masjid besar didirikan oleh Sunan Ampel sebagai pusat pengajaran dan persebaran Agama Islam. Baik Makam dan masjid sangat terawat dengan baik.

Ampel Denta adalah daerah perdikan yang diberikan oleh Raja Majapahit kepada Raden Rahmad untuk penyebaran dan pengajaran agama Islam. Sebelum Islam berkembang di Ampel Denta, kawasan ini telah berkembang agama Hindu.

Keberadaan yang bersifat Hindu di kawasan Masjid dan Makam Sunan Ampel adalah ditemukannya struktur batuan candi. Selain itu sifat Hindu  masih terpampang pada mahkota masjid sebagai bentuk keserasian alkulturasi budaya. Selain itu, alkulturasi budaya juga nampak pada penataan ruang di lingkungan komplek masjid dan Makam. Model gapura paduraksa yang ada di komplek adalah model arsitektur Mojopahitan.

Baca Juga  Uji Karbon Ungkap Kekunoan Pandean dan Peneleh

Kedelapan, Alun-Alun Surabaya adalah wujud pernah adanya sistim tradisional dengan konsep makro kosmosnya. Pada tata ruang tradisional Jawa yang berbentuk komplek alun alun yang pernah ada di Surabaya ternyata masih dapat dilacak keberadaannya.

Ada dua. Satu di lahan komplekaTugu Pahlawan. Satu lainnya adalah di daerah Kemayoran. Di komplek Kemayoran inilah yang masih jelas jejak dari bentuk tata ruang tradisional kuno dengan konsep makro kosmosnya.

Patokannya adalah Masjid Kemayoran, yang dulu dikenal dengan masjid kabupaten Surabaya. Persis di belakang masjid masih ada kampung yang bernama Kauman. Kemayoran Kauman. Di timur masjid adalah alun alun yang sekarang menjadi komplek sekolahan Ta’miriyah dan SMPN 2 Kepanjen. Di timur alun alun ada kantor Kabupaten Surabaya yang sekarang menjadi gedung Kantor Pos Besar Surabaya.

Tidak hanya sebagai kantor Kabupaten dimana kediaman dan kantor bupati berada. Gh Von Faber dalam buku Oud Soerabaia, gedung Kabupaten Surabaya ini bak sebuah kraton karena menjadi tempat formal pelantikan para bupati se karesidenan Surabaya termasuk pelantikan para residen dan asisten residen se karesidenan Surabaya.

Adanya kandang gajah sebagai kendaraan ratu juga tersedia di komplek ini.
“Bapak pucung, dudu watu duduk gunung. Mijil saking sabrang, titihane Sri Bupati”, adalah petikan lirik Mocopat yang menggambarkan seekor gajah sebagai kendaraan raja. Artinya adalah Bapak Pucung, bukan batu bukan gunung. Berasal dari tanah seberang, kendaraannya Sri Bupati (petinggi).

Kesembilan, kompleks makam para bupati Surabaya. Komplek makam para bupati Surabaya ini tersebar di tiga tempat. Yaitu pemakaman kuno Bibis, Sentono Botol Putih dan Ampel. Makam menjadi petunjuk nyata karena menginformasikan pernah adanya orang atau pemimpin pemerintahan klasik Surabaya. Mereka, para bupati Surabaya, adalah bukti otentik pernah adanya sistim pemerintahan tradisional Surabaya.

Kesepuluh, Gedung Kabupaten di Gentengkali. Gedung Kabupaten Surabaya yang masih terlihat wujudnya yaitu gedung Kabupaten yang ada di jalan Genteng kali. Sekarang komplek bangunan ini digunakan sebagai Taman Budaya Propinsi Jawa Timur.

Kesepuluh jejak sejarah klasik Surabaya ini dapat digunakan sebagai awal pelacakan, penelusuran dan pendalaman lebih lanjut. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *