Kongres Bahasa Jawa VII dan Asal Usul Aksara Jawa.

Begandring.com: Surakarta (30/11/23) – Pertunjukan seni budaya Jawa, ketoprak dan wayang orang serta Campursari menjadi suguhan peserta kongres Bahasa Jawa VII di Taman Budaya Jawa Tengah dan Taman Sriwedari pada Rabu malam, 29 November 2023. Sebagaimana disinggung dalam talkshow pada Rabu pagi bahwa bahasa tidak sekedar menjadi alat komunikasi tapi sekaligus sebagai bentuk ekspresi budi pekerti serta unggah ungguh dalam bersosialisasi.

    Peserta Kongres Bahasa Jawa VII menikmati suguhan tontonan seni budaya Jawa. Foto: nng/Begandring.

Komunikasi, yang dipertontonkan dalam pertunjukan ketoprak dan wayang orang sebagai hiburan para peserta kongres, menunjukkan adanya sosio kultural linguistik bahwa dengan siapa para komunikan saling berbicara, tingkatan bahasa Jawa yang digunakan berbeda dengan siapa para komunikan ini berbicara. Betapa sebuah suguhan budaya sebagai implementasi bagaimana bahasa secara sosio kultural dipergunakan.

Di Taman Budaya Jawa Tengah, peserta mendapat suguhan secara medly. Dari lokasi Pendopo di TBJT sebuah sendratari dengan lakon Ajisaka yang membawa mula munculnya Aksara Jawa. Kemudian bergerak ke panggung Tobongan.

 

Cerita Rakyat Aji Saka dan Asal Usul Aksara Jawa. (kompas.com)

Kisah Aji Saka yang melahirkan Aksara Jawa, Ha Na Ca Ra Ka. Foto: nng/Begandring.

Alkisah di Medang Kamulan, datang seorang pemuda sakti yang bernama Aji Saka bersama dua pengawalnya yaitu Dora dan Sembada.

Saat mereka tengah dalam perjalanan menuju Medang Kamulan, Aji Saka dan dua pengawalnya sempat terhenti di daerah Pegunungan Kendeng.

Di tempat itu, Aji Saka meminta Sembada untuk tinggal dan menjaga keris pusaka miliknya. Aji Saka berpesan agar Sembada tidak menyerahkan keris itu kepada siapapun kecuali dirinya.

Baca Juga  PANDI dan Pegiat Aksara Jawa di Tiga Provinsi Lahirkan Portal Aksara Jawa.

Perjalanan berlanjut tanpa Sembada hingga di sebuah tempat sebelum mencapai Medang Kamulan, Aji Saka meminta Dora untuk tinggal karena ia akan pergi seorang diri.

Di Medang Kamulan, Aji Saka dengan kesaktiannya berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang gemar memangsa manusia.

Usai berhasil menolong rakyat Medang Kamulan, Aji Saka kembali teringat dengan keris pusaka miliknya. Aji Saka lantas menemui Dora dan memintanya agar mengambil keris pusaka yang masih dijaga oleh Sembada.

Dora memenuhi perintah Aji Saka dan segera berangkat menemui sahabatnya di Pegunungan Kendeng. Setelah bertemu dan bercengkrama melepas kerinduan, Dora kemudian menyatakan maksud kedatangannya untuk menjemput keris pusaka Aji Saka.

Sembada memahami niat Dora untuk menjalankan pesan Aji Saka, namun ia juga kembali mengingatkan pesan junjungannya itu dan menolak untuk memberikan keris pusaka tersebut.

Baik Dora maupun Sembada kemudian beradu mulut dan bersikeras menjelaskan apa yang telah diperintahkan Aji Saka. Hal itu membuat perselisihan tidak terhindarkan, dan terjadilah pertarungan antara dua pengawal setia Aji Saka. 

Di tempat lain, Aji Saka yang khawatir karena Dora tidak kunjung kembali akhirnya memutuskan untuk menyusul ke Pegunungan Kendeng. Sampai di tempat yang dituju, Aji Saka sungguh terkejut melihat dua pengawal setianya telah tewas setelah saling beradu kesaktian.

Aji Saka lantas teringat pesannya pada Sembada yang menjadi awal mula tragedi berdarah ini, yang membuatnya merasa bersalah.

Karena rasa sedih sekaligus haru melihat kesetiaan dua pengawalnya dalam melaksanakan perintah hingga harus beradu nyawa, Aji Saka lalu memberikan penghormatannya. 

Aji Saka menuliskan beberapa baris puisi di atas sebuah batu yang berbunyi: Ha Na Ca Ra Ka = ono wong loro (ada dua orang), Da Ta Sa Wa La = podho kerengan (mereka berdua berkelahi), Pa Dha Ja Ya Nya = podho joyone (sama-sama kuatny ) dan Ma Ga Ba Tha Nga = mergo dadi bathang lorone (maka dari itu jadilah bangkai semuanya / keduanya mati karena sama kuatnya)

Baca Juga  Indonesia dan Aksara Nusantara.

Deret aksara yang menjadi tanda penghormatan Aji Saka kepada Dora dan Sembada inilah yang kemudian dikenal sebagai aksara Jawa.

 

Tobongan

Ketoprak Tobongan oleh Wahyu Menggolo dari Pati. Foto: nng/Begandring.

Masih di lokasi TBJT, juga disiapkan tontonan berupa panggung tobongan. Tidak kalah menariknya dengan tontonan yang di lokasi Pendopo. Cerita ketoprak ini lebih santai dan jenaka. Apalagi ditambah dengan campursarian koplo sehingga menggugah penonton, termasuk para peserta kongres untuk turut berjoget.

Renyah dan meriah, terasa lebih merakyat. Beralas tanah liat dan beratap langit, bukan langit langit. Suasana sosial kultural tidak ada sekat. Punggawa dan kawula menjadi satu. Itulah tontonan rakyat.

Group kesenian ketoprak ini bernama Wahyu Manggolo yang berasal dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kelompok kesenian ini dikenal sebagai group ketoprak yang paling laris dan bagus. Sangat layak menjadi suguhan para peserta Kongres Bahasa jawa ke VII.

Group kesenian Katoprak Wahyu Manggolo ini didukung oleh puluhan orang yang berasal dari beberapa kabupaten di provinsi Jawa Tengah. Ini nampak pada pagelaran malam itu. Ada yang khusus di audio visual sampai tim armada.

Bergoyang meriah. Foto: tim/Begandring.

Malam semakin larut dan suguhan panggung semakin memanas, hentakan penyaji di atas panggung semakin menggoyahkan tobongan. Goyangannya pun nyetrum ke kursi para tamu sehingga mereka tega meninggalkan kursi nyaman untuk menggoyang badan mengikuti nada dan irama para artis Wahyu Mengolo.

Tidak terasa waktu melebihi gong 11 malam dan mereka pun harus beranjak dan kembali ke hotel untuk persiapan acara Paripurna Kongres bahasa Jawa ke VII. (nanang)

 

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *