Melestarikan Sisa Peradaban Maritim Majapahit di Surabaya

Pemerintah Kota Surabaya berkomitmen menghidupkan Jalan Tunjungan yang lama mati suri. Tunjungan akan dipakai sebagai etalase pemulihan ekonomi sekaligus potret modernisasi Kota Surabaya.

Minggu, 21 November 2021 lalu, Pemerintah Kota Surabaya melaunching Tunjungan Romansa. Tujuannya ingin mengembalikan kejayaan salah satu ikon Kota Pahlawan itu. Sebagai sentral kegiatan bisnis dan wisata bersejarah.

Tidak salah bila Kota Surabaya diproyeksikan semakin maju, berkembang, metropolis, bahkan menjadi kosmopolitan (kota yang menjadi hunian beragam kebangsaan).

Perubahan-perubahan itu tentu mempengaruhi gaya hidup warga serta identitas kearifan lokal yang ada. Identitas kearifan lokal adalah wujud ruh dan spirit warga. Karenanya ruh dan spirit itu harus tetap dijaga, meski pun kota harus berkembang luar biasa.

Masih banyak nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di Surabaya. Tapi sayang, keberadaannya seolah terhimpit nilai-nilai kontemporer dan modernisasi yang metropolis dan kosmopolis.

Karenanya, harus ada upaya upaya untuk melindungi dan melestarikannya agar tidak tergerus zaman. Satu di antara kearifan lokal Surabaya yang eksistensinya kian langka dan berpotensi menjadi tiada adalah peninggalan peradaban maritim Majapahit di Sungai Kalimas, tepatnya pada ruas sungai di Ngagel.

Adalah jasa tambangan yang hingga saat ini masih memberi layanan pada warga yang akan menyeberang dari Ngagel ke Dinoyo atau sebaliknya. Dulu, di daerah Ngagel saja terdapat 4 jasa tambangan. Belum lagi di daerah Peneleh dan di daerah kawasan Kota Tua Surabaya. Kini, tinggal satu di Ngagel.

Jika kita menyimak isi Prasasti Canggu atau Trowulan I (tahun 1358 M), di sana terberitakan adanya nama-nama desa yang melayani jasa penyeberangan (tambangan).

Prasasti ini merupakan piagam kerajaan yang dikeluarkan pada masa Raja Hayam Wuruk. Berisi tentang peningkatan status desa-desa penyeberangan di seluruh Mandala Jawa dan aturan-aturan yang ditetapkan berkenaan dengan aktivitas penyeberangan yang dilakukan. Di antara desa-desa itu, i Gsang (Pagesangan), i Bkul (Bungkul) dan i Curabhaya (Surabaya) yang secara administratif berada di kota Surabaya.

Baca Juga  Tajuk Rencana: Budi-Pekerti-Pahlawan

Dalam prasasti itu disebut nama Panji Marggabhaya, yaitu seorang petugas atau operator penyeberangan yang berada di Desa Canggu. Disebut Prasasti Canggu karena Prasasti itu ditemukan di Desa Canggu, di wilayah Mojokerto.

Berikut petikan Prasasti Canggu yang dikutip dari narasi wikipedia:

“.. makādi mahādwija. I pingsornyājñā pāduka çri mahārāja. Kumonakěn ikanang anambangi sayawadwipamandala. Makādi pañji marggabhaya. Makasikasir ajaran rata. Sthatita. Munggwi canggu pagawayakna sang hyang ājñāhaji praçasti. Rājasanagaralañcana. Munggwe salah sikining tāmra. Riptopala. Kapangkwa denikang anāmbingi sayawadwipamandala..”

Artinya:

“….. setelah diturunkan kepada para pegawai rendah, ialah supaya segala orang disegenap mandala Pulau Jawa diseberangkan, terutama sekali Panji Marggabhaya yang bertempat tinggal di Canggu harus melaksanakan pertulisan perintah Raja menjadi piagam perunggu bertanda lencana Rajasanegara dan digariskan atas piagam perunggu atau di atas batu piagam… “

Jika i Canggu sebagaimana tersebut dalam Prasasti yang lokasinya berada di Canggu, Mojokerto, maka i Gsang, i Bkul dan i Curabhaya berlokasi di wilayah administrasi Kota Surabaya. Di Ngagel masih terdapat jasa tambangan, diduga kuat bagian dari Desa Bkul (Bungkul) kala itu di abad 15. Karena lokasi Ngagel, di mana jasa tambangan masih beroperasi, tidak jauh dari Bungkul.

Karenanya, jasa tambangan ini bisa menjadi wujud kearifan lokal dari adanya sisa peradaban maritim Majapahit. Tidak banyak orang dan pihak menyadari akan hal ini. Sayang sekali.

Teramat sayang lagi jika ada pihak pihak yang memandang bahwa tambangan ini membahayakan dan mengganggu sungai. Itu pandangan dari pihak yang tidak mengerti sejarah Surabaya. Karenanya jasa tambangan ini bisa menjadi sarana dan media edukasi sejarah lokal Surabaya.

Merawat dan menjaga sisa peradaban Maritim Majapahit di Surabaya, khususnya di ruas Kalimas di sisi Ngagel, adalah melestarikan nilai kearifan lokal.

Baca Juga  Konstelasi 5 Bintang PTN di Surabaya Bagai Rasi Cassiopeia.

Selain itu, jasa tambangan ini juga masih bisa atau tetap memberikan layanan penyeberangan jika dilihat dari sudut pandang ASDP (Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan).

Prasasti Canggu

Wisata Sungai

Ketika Pemerintah Kota Surabaya sudah berupaya merevitalisasi sungai Kalimas, maka hendaknya jasa tambangan di Ngagel patut mendapat perhatian. Jasa tambangan di Ngagel sangat berpotensi sebagai penunjang wisata Kalimas.

Selain wisata perahu yang sudah operasional, tambangan ini bisa menjadi media edukasi tentang sejarah kota Surabaya. Seperti yang sudah disebut di atas, nama Surabaya ada dan untuk kali pertama disebut adalah melalui media prasasti yang berangka tahun 1358 M di era Kerajaan Majapahit.

Dengan dimanfaatkannya sebagai objek wisata sungai (maritim), maka keberadaan fisik tambangan layak dibenahi. Misalnya, perahu yang kondisinya apa adanya perlu diganti dengan perahu yang lebih kuat, kokoh, dan indah (artistik) sehingga aman dan nyaman untuk penyeberang.

Marina atau dermaga di kedua sisi sungai bisa ditata kembali dengan lebih baik, sehingga serasi dengan perahunya. Lingkungan di sekitar dermaga bisa dibuat taman yang indah dan dijadikan media informasi tentang sejarah Surabaya, khususnya tentang riwayat tambangan tatkala Surabaya masih menjadi sebuah desa penyeberangan (naditira pradesa).

Penamaan taman di sekitar dermaga penyeberangan bisa menggunakan “Taman i Bkul” atau “Taman Anambangi Curabhaya” yang dimaksudkan untuk melestarikan nama kuno sebagaimana tertera pada Prasasti Canggu atau Trowulan I.

Dengan hadirnya tambangan yang dijadikan objek wisata, maka diharapkan akan membantu membuka potensi ekonomi setempat. Selain itu upaya revitalisasi Kalimas tidak hanya terkonsentrasi ke arah perbaikan fisik semata, tapi ada upaya menggali peradaban lokal yang ternyata sudah dikenal di era Kerajaan Majapahit. (*)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *