Sudah Benarkah Tanggal Hari Jadi Kota Surabaya?

Setiap tanggal 31 Mei kita selalu merayakan Hari Jadi Kota Surabaya, mengapa demikian? Karena konon, pada hari itu 31 Mei tahun 1293, Raden Wijaya telah berhasil mengusir Tentara Tartar dari Ujung Galuh. Dan tanggal itulah yang dipakai sebagai tanggal acuan berdirinya Kota Surabaya. Jelas kan? Tetapi tunggu dulu!

Tahukah Anda bahwa tempo doeloe setiap tanggal 1 April, mulai dari tahun 1906 hingga tahun 1973, diperingati sebagai Hari Jadi Kota Soerabaia? Hal itu terjadi lantaran berdirinya Gemeente Soerabaia berdasarkan Instellings Ordonantie (Staatblad 1906 nomor 149) adalah tanggal 1 April 1906.

Jadi tempo doeloe selama 67 tahun hingga tahun 1973, setiap tanggal 1 April diadakan perayaan besar-besaran di dalam menyambut ‘Hari Jadi’ Gemeente Soerabaia, atau kalau sekarang Pemkot Surabaya. Dalam acara ini juga diselenggarakan upacara bendera, panggung gembira, karnaval dan segala macam kegiatan hura-hura lainnya.

Team Peneliti dan Pansus

Coba Anda bayangkan, jika kita tetap menggunakan weton buatan orang Belanda, maka Hari Jadi Kota Surabaya di tahun 2023 ini, baru yang ke 117 tahun! Padahal Kota Surabaya sendiri sudah ada sejak lama sekali!

Lantas muncullah ide untuk mengadakan penyelidikan. Masak hari kelahirannya Kota Surabaya disamakan dengan hari jadi Gemeente Soerabaia yang notabene adalah buatan penjajah? Yang benar aja!

Lantas dari sini muncullah gagasan untuk mencari Hari Jadi Kota Surabaya yang sejati. Dimana Hari Jadi Kota Surabaya itu dapat membawa jiwa kepahlawanan serta menuju kerukunan dan pembangunan nasional.
Kalimat itu memang bernada iklan. Tapi memang itulah gambaran betapa kebingungannya para petinggi Kota Surabaya kala itu di dalam menetapkan Hari Jadi Kota Surabaya.

Jangan heran, munculnya rumusan kalimat itu, ternyata setelah melalui perdebatan panjang dan melelahkan bagi para anggota Panitia Khusus (Pansus) DPRD Kota Surabaya yang dibentuk untuk memberikan penilaian terhadap usul wali kota berkaitan dengan penetapan Hari Jadi Kota Surabaya.

Perdebatan panjang dalam Panitia Khusus itu dapat dilihat dari jumlah pertemuan untuk membahas persoalan itu. Setidaknya Pansus Hari Jadigate itu mengadakan delapan kali pertemuan dalam rentang waktu sejak tanggal 8 Januari hingga 10 Februari 1975.

Tercatat sebagai anggota Pansus tersebut: Eddy Sutrisno (Ketua), H.A. Zakky Ghoefron (Wakil Ketua), Sutrisno B.A (anggota), Hassan Ibrahim,SH (anggota), Muchsin SH (anggota), Munahir (anggota), Bambang Rujito (anggota), J.Sugiyanto (anggota), Anas Thohir Syamsudin (anggota), R.Sumono Hs,BSC (anggota), Drs. J.Karmeni (anggota), Ahadin (anggota), Umar Buang (anggota), Kaptiyono (anggota) dan Drs. Nana Sumantri (anggota).

Ketika penetapan Hari Jadi Kota Surabaya masih dalam pembahasan, sebenarnya Surabaya sendiri sudah memiliki Hari Jadi yang jatuh pada tanggal 1 April seperti yang telah disebutkan di atas tadi.

Penetapan tanggal 1 April itu diambil dari peristiwa saat peresmian Kota Soerabaia sebagai Gemeente Soerabaia oleh pemerintah kolonial Belanda. Wajar, karena dianggap berbau kolonial dan tidak sesuai dengan kenyataan, di mana Soerabaia sebenarnya sudah ada sejak zaman pemerintahan Prabu Kertanegara sekitar abad ke-13 M, maka dibentuk Team Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya.

Anggota Team Penelitian itu terdiri 13 orang, yaitu Prof. A.G. Pringgodigdo SH, Pensiunan Rektor Universitas Airlangga, Surabaya (Penasihat), Prof. Drs. S. Wojowasito, Maha Guru IKIP Malang (Ketua I), Prof. Koentjoro Poerbonoto SH, Maha Guru Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya (Ketua II), Drs. Prayogo, Kepala Pembinaan Musium Jawa Timur (Ketua III) dan Drs. M.D. Pakiding, Pegawai Kotamadya Surabaya (Sekertaris).

Juga ada anggota Team Penelitian lainnya, yakni Kolonel Laut dr.Sugiyarto (Kepala staf Kekaryaan daerah Angkatan Laut 4 Surabaya (anggota), Drs. Issatrijadi (dosen Fakultas sosial IKIP Surabaya), Drs. Heru Soekardi K (dosen Fakultas Sosial IKIP Surabaya), Banoe Iskandar (pensiunan Kepala inspeksi Kebudayaan Jawa Timur), Wiwiek Hidayat (Pimpinan LKBN Antara Cabang Surabaya/Anggota Dewan Kesenian Surabaya), Tajib Ernadi (Redaksi Joyoboyo), Soenarto Timoer dan Soeroso (Pensiunan Komisaris Polisi).

Baca Juga  Jika Hujunggaluh Ada di Surabaya, Itu Perlu Dipertanyakan!

Sekitar lima bulan Team Penelitian menjalankan tugasnya. Hasilnya, ada tiga alternatif yang diajukan sebagai tonggak Hari Jadi Kota Surabaya. Dari tiga alternatif itu, dua alternatif berlatar belakang peristiwa dan satunya didasarkan pada kesaksian prasasti.

Peristiwa yang diajukan sebagai momentum Hari Jadi Kota Surabaya yang diajukan Teamm Peneliti itu adalah:

• Saat Raden Wijaya memenangkan peperangan melawan tentara Tartar ( 31 Mei 1293 M)
• Saat penganugerahan tanda jasa kepada Kepala Desa dan rakyat Kudadu atas jasanya menyelamatkan Raden Wijaya (11 September 1294 M ).
• Sedang kesaksian batu kuno, termaktub dalam Prasasti Trowulan nama Chura Bhaya (menurut transkrip dari huruf Jawa kuno ke huruf Latin) selaku naditiro pradeca (7 Juli 1358 M). Maksudnya, Soerabaia disebut sebagai salah satu tempat penambangan ke pulau-pulau Nusantara, barangkali semacam pelabuhan transit.

Setelah Team Peneliti merumuskan tiga alternatif hari jadi tersebut, bukan berarti masalah penetapan hari jadi surabaya tinggal selangkah lagi. Hanyat Tinggal memukul palu untuk ditetapkan salah satu dari ketiga alternatif tersebut. Justru sebaliknya, pengajuan tiga alternatif itu malah melahirkan kebingungan.

Bagaimana tidak bingung, ketiga temuan itu dinilai sebagai hasil penelitian ilmiah. Dan masing-masing alternatif mempunyai dasar yang kuat. Team Peneliti sendiri sudah pasrah bongkokan dan menyatakan mendukung apa pun yang akan ditetapkan sebagai tanggal Hari Jadi.

Pejabat Walikota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya, ternyata kesengsem dengan peristiwa kemenangan Raden Wijaya atas bala tentara Tartar atau pasukan Ku Bi Lai Khan. Karena itu, melalui suratnya tanggal 27 Desember 1973 diusulkan pada DPRD Kotamadya Surabaya untuk menyetujui tanggal 31 Mei 1293 M sebagai Hari Jadi Surabaya.

Alasannya, kemenangan Raden Wijaya merupakan sebuah kebanggaan bagi rakyat Surabaya dan bangsa Indonesia. Bila ditarik sebagai benang merah, ada pertautannya dengan peristiwa 10 November 1945.

Permintaan walikota itu tidak serta merta disetujui. Komisi A DPRD Kotamadya Surabaya yang membahas usulan tersebut, kini yang pusing untuk menetapkan karena semua alternatif memiliki dasar yang kuat.

Daripada pusing-pusing Komisi A, akhirnya mengembalikan soal penetapan hari jadi itu ke pimpinan DPRD Surabaya, dan menyarankan agar diadakan pertemuan dengan para bekas anggota Team Peneliti. Dan seperti yang sudah diduga, pertemuan itu memang dilaksanakan, tapi gagal mengambil kesepakatan!

Karena tidak membuahkan hasil, maka dibentuk Pansus (Panitia Khusus). Kerja Pansus selangkah lebih maju, dengan berhasil membuat landasan prinsip untuk menentukan Hari Jadi Kota Surabaya.

Kerangka landasan itu menggariskan:
• Bahwa Hari Jadi Surabaya harus mengandung nilai kepahlawanan yang ditunjang kebenaran sejarah.
• Lokasi peristiwa sejarahnya harus memenuhi persyaratan Hukum Tata Negara dan beridentitas Surabaya.

Dari rumusan kerangka penetapan Hari Jadi itu mengarah pada peristiwa kemenangan pasukan Raden Wijaya atas balatentara Tartar. Barangkali rumusan kerangka itu dibuat ketika Surabaya sudah dikenal sebagai Kota Pahlawan dengan terjadinya peristiwa 10 November 1945.

Tapi ada pertanyaan yang menggelitik. Seandainya Raden Wijaya tidak pernah memenangkan peperangan dengan tentara Tartar, jangan-jangan peristiwa 10 November akan dijadikan Hari Jadi Kota Surabaya. Namun hal ini jelas tidak mungkin!

Masalahnya kota ini sudah terlanjur dikenal sebagai Kota Pahlawan. Seandainya saja tidak pernah terjadi peristiwa 10 November 1945, dan Surabaya sudah dikenal sebagai kota pelabuhan, apakah yang akan dipakai tanggal 7 Juli 1358? Karena seperti yang tertulis di Prasasti Trowulan yang menyebut Cura Bhaya selaku naditira pradeca atau pelabuhan interinsuler.

Baca Juga  Prasasti Canggu dan Pengembangan Peneleh

 

Pahlawan Gunung Butak

Kisah kepahlawanan Raden Wijaya itu sebenarnya bagaimana? Benarkah peristiwa peperangan itu terjadi di Surabaya sekarang ini? Apakah lokasi peperangan itu memenuhi persyaratan materiil dalam Hukum Tata Negara?
Daftar pertanyaan itu muncul dari Pansus Hari Jadi Gate dan dijadikan acuan serius dalam pembahasan.

Peperangan antara Raden Wijaya dengan tentara Tartar terjadi pada abad XIII pada zaman sesudah pemerintahan Raja Kertanegara. Dengan dibantu rakyatnya, Raden Wijaya berhasil memukul mundur tentara Ku Bi Lai Khan.

Jika ditinjau dari kepentingan nasional, maka kemenangan Raden Wijaya itu merupakan peristiwa terbebasnya kepulauan Indonesia dari bangsa asing.

Kisah kepahlawanan Raden Wijaya itu ditulis dalam prasasti Gunung Butak, tahunnya 1216 Caka = 1294 AD. Disitu disebutkan bahwa Raden Wijaya sebagai: “Raja yang dipujikan sebagai pahlawan besar yang utama”.

Lantas kepahlawan Raden Wijaya juga dapat dilihat dalam prasasti Gunung Penanggungan oleh Kertarajasa pada tahun 1218 Caka = 1296 AD. Dalam prasasti disebutkan Raden Wijaya disebut sebagai “Pahlawan di antara Pahlawan”.

Lalu, benarkah lokasi peperangan Raden Wijaya itu di wilayah Kota Surabaya sekarang? Jangan-jangan peristiwa itu terjadi di wilayah Gresik? Bukankah lokasinya disebutkan di Ujung Galuh? Ujung Galuh itu terletak di Surabaya atau Gresik?

Peristiwa peperangan Raden Wijaya itu terjadi di wilayah kota Surabaya sekarang. Kesimpulan itu didasarkan pada pendapat Prof. Dr. N.J. Krom dan dipekuat pendapat Drs. Oei Soen Nio, dosen sejarah Tiongkok dari Seksi Sinologi jurusan Asia Timur Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Drs. Oei Soen Nio berpendapat, menurut pembacaan tulisan Cina kata Sugalu itu harus dibaca Jung Ya Lu. Jadi ucapannya lebih mendekati Junggaluh dari pada Sedayu yang ada di Gresik.

Pendapat senada juga dikemukan Prof. Drs. Suwoyo Woyowasito yang mengatakan berdasarkan perkembangan bunyi, Suyalu adalah perubahan bunyi lafal Tionghwa dari kata Hujunggaluh.

Fakta lain yang ikut memperkuat juga ada, yaitu Shippi, salah seorang Panglima Tentara Tartar yang semula mendarat di Tuban, lalu memerintahkan tiga pejabat tinggi naik perahu ke jembatan terapung Majapahit. Tiga pejabat yang berangkat dari Suyalu itu untuk menuju Majapahit tentu melalui sebuah sungai.

Karena Kraton Majapahit berada di Trowulan, maka Suyalu lebih erat hubungannya dengan Kali Brantas dibanding Kali Bengawan Solo. Bahkan dapat dikatakan Suyalu terdapat dipantai dan muara Kali Brantas. Sedangkan Gresik tidak dilalui Kali Brantas.

Hujunggaluh itu terletak di pantai dan muara Kali Surabaya. Dalam Prasasti Kelagen berangka tahun 1037 AD, dan didukung buku Chu-fan-chi-kua tahun 1220 AD.

Tidak itu saja, Kidung Harsa Wijaya juga memperkuat pendapat itu. Bunyi Kidung Harsa Wijaya itu sebagai berikut: “Mangke wus wonten Jung Galuh sampun akukuto lor ikang Tegal Bobot Sekar sampun cirno linuruh punang deca tepi siring ing Cangu “

Artinya kurang lebih: “Sekarang (tentara Tartar) sudah ada di Jung Galuh dan sudah membuat benteng sebelah utara di Tegal Bobot Sekar (sari) pada lurah desa di wilayah Canggu sudah musnah “

Maka bertambah kuatlah adanya pendapat: “Su-ya-lu sama dengan Hujunggaluh yang terletak di pantai di muara Kali Surabaya dan bukan sama dengan Sedayu yang sekarang terletak di tepi Bengawan Solo dengan muaranyadi Ujung Pangkah “

 

Kota Hujung Galuh

Lalu, apakah Hujung Galuh memenuhi persyaratan untuk disebut kota sesuai Hukum Ketatanegaraan?

Baca Juga  Hujunggaluh di Surabaya Hasil Pemaksaan Intelektual?

Drs. J.B.A. Mayor Polak menyebut ada dua macam kota asli Indonesia. Yaitu bercorak kraton yang berada di pedalaman dan kota dagang di pantai-pantai. Kota kraton timbul karena adanya pusat pemerintahan, sedang kota dagang timbul ditempat yang cocok bagi perdagangan.

Menurut Prasasti Kalagen (1037) disebutkan bahwa Hujung Galuh merupakan pelabuhan dagang Dwipantara atau interionsuler. Jadi Hujung Galuh dapat dikatagorikan sebagai Kota Dagang.

Setelah melakukan kajian dan pembahasan, akhirnya Pansus Hari Jadi Gate menyetujui usul Wali Kotamadya Surabaya agar tanggal 31 Mei 1293 M ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya dan ditetapkan melalui sidang paripurna DPRD Kotamadya Surabaya tanggal 6 Maret 1975.

Keputusan DPRD Kotamadya Surabaya itu kemudian ditindaklanjuti dengan SK Wali Kotamadya Surabaya No.64/WK/75 tanggal 18 Maret 1975 tentang penetapan Hari Jadi Kota Surabaya yang ditandatangani Soeparno, selaku Wali Kotamadya Surabaya.

Tetapi persoalannya ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Sebab masih ada sesuatu yang mengganjal. Sudah benarkah tanggal Hari Jadi Kota Surabaya itu?

Profesor Dr. Slamet Muljana adalah pakar sejarah zaman Majapahit. Pada tahun 1976 beliau menulis A Story of Majapahit, tahun 1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, dan tahun 1981 Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi.

Menurut pendapat beliau bahwa Pasukan Raden Wijaya itu berhasil mengusir Tentara Tartar dari Ujung Galuh pada tanggal 24 April 1293.

Sedangkan di sisi lain Team Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya dengan penasihat Profesor A.G. Pringgodigdo, SH bersikukuh bahwa peristiwa pengusiran Tentara Tartar oleh Raden Wijaya itu terjadi pada tanggal 31 Mei 1293.

Ada perbedaan penetapan tanggal saja kok ribut?

Permasalahannya tidak sesederhana itu. Sebab ini semua kembali menyangkut masalah ‘weton’ Hari Jadi Kota Surabaya. Seperti yang telah kita maklumi bahwa masalah ‘weton’ atau hari kelahiran itu dalam budaya Jawa termasuk hal yang sangat sakral!

Melihat kenyataan di atas, lantas timbul pertanyaan. Siapakah yang salah, dan siapakah yang benar? Profesor Dr. Slamet Muljana, atau Team Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya?

Padahal keduanya memakai acuan data-data sejarah yang sama. Lihat saja,
Kidung Panji Wijayakarma, Kidung Harsawijaya, dan Sejarah Dinasti Yuan. Tetapi kedua-duanya kok bisa berbeda?

Agaknya perbedaan tersebut muncul lantaran ke duanya sudah berbeda pendapat manakala menentukan tanggal awal kejadian. Menurut Profesor Dr. Slamet Muljana Tentara Tartar datang ke Majapahit itu pada tanggal 1 Maret 1293 M. Akan tetapi menurut Team Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, Tentara Tartar itu tiba di Majapahit pada tanggal 2 April 1293 M.

Seperti halnya Profesor Dr. Slamet Muljana, para anggota team itu jelas bukan orang sembarangan. Mereka bahkan sudah bisa menemukan tahun-tahun penting lainnya yang berkaitan dengan Kota Surabaya jaman purbakala. Misalnya saja tahun kunjungan Raja Hayam Wuruk ke Surabaya pada tahun 1365 M , seperti yang tertulis dalam pupuh XVII-5 Negarakretagama. Raden Rahmat membentuk komunitas masyarakat Muslim pada tahun 1451 M, dan masih banyak lagi.

Yang jelas, saya menaruh hormat pada Team Penelitian Hari Jadi Kota Surabaya, maupun pada Profesor Dr. Slamet Muljana atas segala upaya mereka.

Kekayaan sumber sejarah Kota Surabaya yang begitu melimpah juga wajib kita syukuri. Tergantung pada diri kita sendiri, berhajat apa tidak buat menggalinya?

Profesor Dr. Djajadiningrat seorang pakar sejarah lainnya juga mengatakan bahwa bahan sejarah tentang para Adipati Surabaya itu juga sangat banyak. Tetapi ditulis oleh para sejarawan Belanda! Lha ini, sudah dapat dipastikan bahwa penulisan sejarahnya digunakan bagi kepentingan penjajah.

*Penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *